Selasa, 28 Februari 2023

Kampung Tugu, di Pesisir Utara Jakarta



Saya menyukai semua jenis musik termasuk keroncong, semata-mata karena penghormatan secara antropologis terhadap masyarakat pegiat musik tersebut.

Berawal keinginan untuk membuat liputan budaya Betawi, saya memperoleh sedikit informasi tentang Kampung Tugu di anjungan DKI Jakarta, TMII. Secara tidak disengaja bertemu dengan Andre Michiels. Pimpinan salah satu kelompok musik Keroncong Tugu. Selain keluarga Michiels ada satu kelompok musik yang dikelola keluarga Quicko.

Warga Tugu adalah komunitas keturunan Portugis dan cikal-bakal musik keroncong di Indonesia sebelum menyebar ke Jawa Tengah dan daerah lainnya. Pertemuan dengan keluarga Michiels itu betul-betul hanya kebetulan. Menurut sejumlah literatur, terdapat 6 fam keluarga Tugu yang bisa dikenali dari nama belakangnya yakni: Abrahams, Andries, Cornelis, Michiels, Broune dan Quiko.

Tidak disangka bahwa reportase pada tahun 1995 di sebuah rumah tua bersejarah di Jalan Tugu Jakarta Utara akan terus berlanjut dengan liputan atau diskusi tentang kebudayaan masyarakat Tugu lainnya. Tak berkesudahan. Begitu banyak yang bisa digali dari sebuah komunitas budaya yang tidak terlalu besar dibandingkan etnis lainnya.

Dari masyarakat Tugu saya belajar tentang kebanggaan terhadap budaya leluhur. Rupanya ini adalah resep dari lestarinya sebuah komunitas antropoligis dan produk kebudayaannya. Tugu bagi mereka bukan sekadar wilayah geografis tapi jati diri. Apapun profesi dan status sosialnya, orang Tugu pasti cinta lagu keroncongnya. Ini berlaku bukan saja bagi orang Tugu yang tinggal di daerah Tugu, namun juga bagi mereka yang sudah tersebar ke berbagai daerah bahkan luar negeri. Mereka tetap menjadi “orang Tugu”, dan sebisa mungkin akan hadir pada tradisi rabo-rabo dan mandi-mandi.

Rabo-rabo diselenggarakan setiap tanggal 1 Januari. Satu keluarga yang dituakan akan mengawali tradisi dengan bermain musik keroncong di halaman rumah, lalu berkunjung ke rumah warga Tugu lainnya. Tuan rumah yang dikunjungi akan menyambut dengan menyanyikan lagu dan minuman. Mereka akan mengutus anggota keluarga untuk mengikuti rombongan. Begitu seterusnya hingga rombongan makin panjang dan pastinya semakin meriah.

Sedangkan mandi-mandi adalah tradisi sepekan setelah tahun baru. Diiringi alunan khas musik keroncong, warga Tugu saling mencoreng muka dengan bedak cair. Tradisi ini dimaknai saling memaafkan.

Seluruh pengunjung yang datang dipastikan mukanya akan penuh coretan. Ceria dan penuh gelak tawa. Cinta budaya tak membuat mereka menjadi tertutup dan primordialistik.

Belum pernah saya melihat sebuah komunitas budaya yang begitu solid seperti warga Tugu. Tidak cengeng merengek bantuan pemerintah. Tangguh menghadapi gempuran budaya, meskipun diterjang K-Pop dan Barat lewat medsos dan media budaya pop lainnya.

Coba nikmati lagu cafrinho saat malam turun ke bumi. Tiba-tiba saya membayangkan sejumlah warga Tugu dengan pakaian khasnya, lengkap dengan syal dan topinya memainkan musik indah bersahaja dari hati mereka.

Cafrinho kiteng santadu

Lanta pio, bate-bate

Cafrinho kere anda kaju

Tira terban naji sako

Pasa-pasa na bordu mar

Ola nabio kere nabiga

Sehat selalu Bung Andre, Sartje, Arthur, Tino, Lisa, Keluarga Quicko dan fam Tugu lainnya. Teruslah bernyanyi, melintasi waktu dan peradaban…

 

1 komentar:

  1. Terimakasih banyak mas Haji Tian muito obrigado..
    Kapan nih main ke tugu lagi? Ngobrol ngobrol kaya dulu 🙂

    BalasHapus

Kenapa Depok Disebut Kota Petir?

  Depok tercatat dalam Guinness Book of World Record sebagai kota dengan petir paling ganas di dunia. Dari hasil penelitian Prof. Dr. Ir. Di...