Gabus Pucung identik dengan Betawi. Hanya bisa dijumpai di kawasan Jakarta, Bekasi, Bogor pinggiran dan Depok. Gabus adalah ikan liar yang biasa hidup di rawa atau empang. Kini sudah diternakan. Ikan ini adalah musuh para peternak tambak karena tergolong predator. Tekstur dagingnya kenyal, berserat. Gurih luar biasa.
Sedangkan pucung atau kluwek adalah tanaman yang mirip sekali dengan randu. Pohonnya berukuran besar dan buah bergelantungan dengan siklus panen sekitar 8-9 bulan sekali. Kluwek merupakan biji dari buah picung yang diproses menjadi bahan rempah untuk masakan. Dalam bahasa latin, tanaman pucung disebut sebagai pangium edule. Tanaman ini mirip sekali dengan pohon randu.
Menurut sejumlah literatur, di masa kolonial Belanda, warga Betawi mengonsumsi ikan gabus karena tidak mampu membeli ikan mas atau bandeng yang harganya sangat mahal. Pada saat itu, tidak sulit untuk mendapatkan ikan gabus yang banyak ditemui di rawa dan empang. Namun dengan pesatnya pertumbuhan kota, lahan empang dan rawa sudah beralih menjadi perumahan dan gedung –gedung bertingkat. Ikan Gabus pun menjadi langka. Harganya pun mahal, Rp 75.000 – 100.000/ kg.
Umumnya warga Betawi memasak gabus pucung untuk acara nyorog, yakni menyerahkan makanan kepada orang yang lebih tua atau saudara pada saat menjelang Bulan Ramadhan. Tradisi ini masih bertahan hingga saat ini.
Kuah gabus pucung mirip rawon Jawa Timur. Hitam legam dan gurih. Pada saat dibersihkan, ikan biasanya dilumuri jeruk nipis untuk menghilangkan bau amis, lalu dicuci hingga dagingnya putih, Ikan kemudian digoreng agar dagingnya tidak hancur saat disayur.
Walaupun sejarahnya adalah kuliner “warga pinggiran,”
namun sayur gabus pucung kini sudah jadi makanan “kaum bermobil”. Satu porsi/
potong, dihargai Rp 50.000,- . Gabus memang paling pas dimasak dengan kuah
pucung. Ditaburi kecambah dan daun kemangi. Rasanya… tasty dan otentik. Wuuih….
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar