Selasa, 28 Februari 2023

Kampung Tugu, di Pesisir Utara Jakarta



Saya menyukai semua jenis musik termasuk keroncong, semata-mata karena penghormatan secara antropologis terhadap masyarakat pegiat musik tersebut.

Berawal keinginan untuk membuat liputan budaya Betawi, saya memperoleh sedikit informasi tentang Kampung Tugu di anjungan DKI Jakarta, TMII. Secara tidak disengaja bertemu dengan Andre Michiels. Pimpinan salah satu kelompok musik Keroncong Tugu. Selain keluarga Michiels ada satu kelompok musik yang dikelola keluarga Quicko.

Warga Tugu adalah komunitas keturunan Portugis dan cikal-bakal musik keroncong di Indonesia sebelum menyebar ke Jawa Tengah dan daerah lainnya. Pertemuan dengan keluarga Michiels itu betul-betul hanya kebetulan. Menurut sejumlah literatur, terdapat 6 fam keluarga Tugu yang bisa dikenali dari nama belakangnya yakni: Abrahams, Andries, Cornelis, Michiels, Broune dan Quiko.

Tidak disangka bahwa reportase pada tahun 1995 di sebuah rumah tua bersejarah di Jalan Tugu Jakarta Utara akan terus berlanjut dengan liputan atau diskusi tentang kebudayaan masyarakat Tugu lainnya. Tak berkesudahan. Begitu banyak yang bisa digali dari sebuah komunitas budaya yang tidak terlalu besar dibandingkan etnis lainnya.

Dari masyarakat Tugu saya belajar tentang kebanggaan terhadap budaya leluhur. Rupanya ini adalah resep dari lestarinya sebuah komunitas antropoligis dan produk kebudayaannya. Tugu bagi mereka bukan sekadar wilayah geografis tapi jati diri. Apapun profesi dan status sosialnya, orang Tugu pasti cinta lagu keroncongnya. Ini berlaku bukan saja bagi orang Tugu yang tinggal di daerah Tugu, namun juga bagi mereka yang sudah tersebar ke berbagai daerah bahkan luar negeri. Mereka tetap menjadi “orang Tugu”, dan sebisa mungkin akan hadir pada tradisi rabo-rabo dan mandi-mandi.

Rabo-rabo diselenggarakan setiap tanggal 1 Januari. Satu keluarga yang dituakan akan mengawali tradisi dengan bermain musik keroncong di halaman rumah, lalu berkunjung ke rumah warga Tugu lainnya. Tuan rumah yang dikunjungi akan menyambut dengan menyanyikan lagu dan minuman. Mereka akan mengutus anggota keluarga untuk mengikuti rombongan. Begitu seterusnya hingga rombongan makin panjang dan pastinya semakin meriah.

Sedangkan mandi-mandi adalah tradisi sepekan setelah tahun baru. Diiringi alunan khas musik keroncong, warga Tugu saling mencoreng muka dengan bedak cair. Tradisi ini dimaknai saling memaafkan.

Seluruh pengunjung yang datang dipastikan mukanya akan penuh coretan. Ceria dan penuh gelak tawa. Cinta budaya tak membuat mereka menjadi tertutup dan primordialistik.

Belum pernah saya melihat sebuah komunitas budaya yang begitu solid seperti warga Tugu. Tidak cengeng merengek bantuan pemerintah. Tangguh menghadapi gempuran budaya, meskipun diterjang K-Pop dan Barat lewat medsos dan media budaya pop lainnya.

Coba nikmati lagu cafrinho saat malam turun ke bumi. Tiba-tiba saya membayangkan sejumlah warga Tugu dengan pakaian khasnya, lengkap dengan syal dan topinya memainkan musik indah bersahaja dari hati mereka.

Cafrinho kiteng santadu

Lanta pio, bate-bate

Cafrinho kere anda kaju

Tira terban naji sako

Pasa-pasa na bordu mar

Ola nabio kere nabiga

Sehat selalu Bung Andre, Sartje, Arthur, Tino, Lisa, Keluarga Quicko dan fam Tugu lainnya. Teruslah bernyanyi, melintasi waktu dan peradaban…

 

Senin, 27 Februari 2023

Gabus Pucung: Kuliner Otentik Betawi



Gabus Pucung identik dengan Betawi. Hanya bisa dijumpai di kawasan Jakarta, Bekasi, Bogor pinggiran dan Depok. Gabus adalah ikan liar yang biasa hidup di rawa atau empang. Kini sudah diternakan. Ikan ini adalah musuh para peternak tambak karena tergolong predator. Tekstur dagingnya kenyal, berserat. Gurih luar biasa.

Sedangkan pucung atau kluwek adalah tanaman yang mirip sekali dengan randu. Pohonnya berukuran besar dan buah bergelantungan dengan siklus panen sekitar 8-9 bulan sekali. Kluwek merupakan biji dari buah picung yang diproses menjadi bahan rempah untuk masakan. Dalam bahasa latin, tanaman pucung disebut sebagai pangium edule. Tanaman ini mirip sekali dengan pohon randu. 

Menurut sejumlah literatur, di masa kolonial Belanda, warga Betawi mengonsumsi ikan gabus karena tidak mampu membeli ikan mas atau bandeng yang harganya sangat mahal. Pada saat itu, tidak sulit untuk mendapatkan ikan gabus yang banyak ditemui di rawa dan empang. Namun dengan pesatnya pertumbuhan kota, lahan empang dan rawa sudah beralih menjadi perumahan dan gedung –gedung bertingkat. Ikan Gabus pun menjadi langka. Harganya pun mahal, Rp 75.000 – 100.000/ kg.

Umumnya warga Betawi memasak gabus pucung untuk acara nyorog, yakni menyerahkan makanan kepada orang yang lebih tua atau saudara pada saat menjelang Bulan Ramadhan. Tradisi ini masih bertahan hingga saat ini.

Kuah gabus pucung mirip rawon Jawa Timur. Hitam legam dan gurih. Pada saat dibersihkan, ikan biasanya dilumuri jeruk nipis untuk menghilangkan bau amis, lalu dicuci hingga dagingnya putih, Ikan kemudian digoreng agar dagingnya tidak hancur saat disayur.

Walaupun sejarahnya adalah kuliner “warga pinggiran,” namun sayur gabus pucung kini sudah jadi makanan “kaum bermobil”. Satu porsi/ potong, dihargai Rp 50.000,- . Gabus memang paling pas dimasak dengan kuah pucung. Ditaburi kecambah dan daun kemangi. Rasanya… tasty dan otentik. Wuuih….

 

Mengunyah Sejarah Roti Gambang



Roti gambang bukan sembarang roti. Rasanya agak keras, kecoklatan, bertabur wijen, aromanya wangi kayu manis, flavor. Rasanya tetap menempel di mulut meskipun roti gambang sudah habis dikunyah. Hmmm…

Dari sejumlah literatur sejarah, roti gambang sudah ada sejak tahun 1920’an. Konon roti  gambang adalah roti Belanda yang diberi cita rasa lokal. Warga Betawi menyebutnya roti gambang karena mirip alat musik tradisional gambang, khas Betawi. Sementara orang Semarang menyebutnya roti ganjel rel, karena sepintas mirip kayu bantalan kereta api.

Sarapan roti gambang serasa mengunyah sejarah. Roti gambang adalah favorit sarapan warga Betawi. Tentu saja sebagai makanan pembuka. Seperti orang Indonesia pada umumnya, belum afdol jika tidak makan nasi.

Roti gambang biasanya jadi “timpalan” atau teman minum kopi atau teh. Roti gambang paling top adalah produksi toko roti Tan Ek Tjoan atau Toko Lauw.

Tan Ek Tjoan adalah perusahaan roti tertua di Indonesia. Didirikan pada tahun 1921 oleh seorang pemuda keturunan Tionghoa di daerah Suryakencana Bogor bernama Tan Ek Tjoan. Menurut situs Historia.id yang jago buat roti sebenarnya isterinya. Sedangkan Tan Ek Tjoan piawai dalam pengembangan bisnis. Sebuah perpaduan sempurna.

Roti Lauw menjadi jajanan legendaris di Jakarta yang dapat ditemui di sepanjang Jalan Cikini hingga Gondangdia. Roti Lauw dibuat sejak 1940-an. Dari publikasi kompas.com, pendiri bisnis roti Lauw adalah Lauw Eng Nio. Lauw mulai membuat rotinya sendiri pada tahun tersebut dan menggunakan namanya sebagai merek. Istana Kepresidenan Bogor merupakan pelanggan roti ini. Roti Lauw disebut merupakan santapan Presiden pertama RI Ir Soekarno di Istana Kepresidenan Bogor. Hingga saat ini, setiap pagi hingga malam hari, roti Lauw yang khas dengan roti gambang masih dijajakan di sejumlah wilayah di Jakarta.

Roti gambang dibuat sedemikian rupa dengan resep khas Indonesia. Misalnya dengan menggunakan berbagai rempah khas tanah air seperti kapulaga, kayu manis, wijen dan berbagai rempah lainnya yang kemudian dicampur dengan gula, tepung, dan telur. Tekstur roti gambang yang padat membuat makanan ini cocok menjadi menu sarapan karena sifatnya yang mengenyangkan.

Cobain aja…

Jumat, 24 Februari 2023

Kaya, Berkuasa, Lalu Semena-mena



Pekan ini publik digegerkan oleh kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satrio terhadap Cristalino David Ozora alias David (17 tahun). Saat tulisan ini dibuat, kondisi korban koma dan masih dalam perawatan intensif.

Publik pun penasaran. Siapa gerangan Mario Dandy,  pemuda bengis seperti dalam video yang tersebar luas itu? Dari sosial medianya, pelaku adalah seorang pemuda yang gemar pamer kemewahan (flexing). Naik motor Harley Davidson, Jeep Rubicon sekaligus drop out dari Sekolah Taruna Nusantara.

Mario Dandy ini putra Rafael Alun Trisambodo, Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan II Jakarta Selatan. Yang mencengangkan, sang pengabdi pajak eselon III ini mencatatkan kekayaan di LHKPN sebesar Rp 56 Milyar, tanpa memiliki hutang. Secara netto, lebih “tajir” dari Menkeu Sri Mulyani yang membukukan kekayaan sebesar Rp 58 milyar, tapi punya hutang Rp 10 milyar. KPK mencium ada indikasi tidak wajar dan segera akan memanggil Rafael. Sulit dipahami jika seorang eselon III bisa menumpuk harta sebesar itu, apalagi sebagian besar hartanya dalam bentuk tanah dan diperoleh secara hibah.

Sri Mulyani bereaksi cepat. Dia perintahkan Rafael untuk dipecat, dan yang bersangkutan pun, belakangan mengundurkan diri sebagai ASN. Selain itu, ia pun memerintahkan pemeriksaan oleh internal Direktorat Jenderal Pajak terkait kewajaran harta kekayaan Rafael.

Kasus flexing sang pengabdi pajak ini seakan mempertanyakan reformasi di jajaran Kementerian Keuangan yang kerap digaungkan setelah hebohnya kasus Gayus Tambunan, pegawai rendahan Dirjen Pajak berumur 31 tahun, namun berhasil memiliki kekayaan secara tidak wajar lebih dari Rp 70 milyar. Itu pun baru yang terungkap. Peningkatan renumerasi pegawai pajak tidak mampu membendung hasrat kotor korupsi dan hedonisme.

Perilaku ugal-ugalan anak pejabat bukan hanya terjadi di Jakarta, beberapa hari sebelumnya juga terjadi di Jambi. Seorang anak remaja pria berumur 17 tahun ketahuan menyalah gunakan sedan Camry ibunya, seorang pejabat di sekretariat DPRD Jambi. Mobil plat merah itu menambrak tiang listrik PJU dan dari dalam mobil juga dipergoki seorang anak gadis tanpa busana. Ampun deh…

Flexing alias pamer kekayaan oleh anak pejabat dan perilaku brutal, bukan hanya melukai korban langsung, tapi juga seluruh masyarakat. Pamer kekayaan di tengah masih banyaknya orang yang terjerat kemiskinan menjadi indikasi matinya hati nurani.

Semoga kasus ini menjadi pintu masuk untuk memeriksa kekayaan pejabat yang memiliki harta tak wajar. Bukan hal baru bagi KPK, jika pengusaha kerap menyuap pejabat dengan hadiah berupa motor besar dan mobil mewah.

Sumpah ketika dilantik ASN cuma seremoni, karena itikadnya bukan untuk mengabdi, tapi hidup mudah dengan cara gegabah..

Kamis, 23 Februari 2023

The Poor Pay More



 

Kemiskinan perkotaan adalah problem ketidakmampuan manajemen perkotaan mengatasi masalah sosial. Penanganan masalah ini butuh waktu panjang, komitmen yang kuat, dan bisa jadi hasilnya tidak semegah membangun stadion olah raga, bandara atau jalan tol. Saya tidak tahu, apakah ada pemerintah daerah di Indonesia yang menetapkan penanganan masalah sosial sebagai priotas utama dibandingkan pembangunan infrastruktur? Kalau dilihat dari alokasi anggaran, tidak satupun daerah di Indonesia yang menetapkan penanganan masalah sosial sebagai prioritas.

DKI Jakarta, APBD 2023 difokuskan pada tiga program prioritas dengan alokasi sebesar 41,27 persen APBD melalui belanja dan penyertaan modal daerah, yaitu pengendalian banjir, penanganan kemacetan dan antisipasi dampak penurunan pertumbuhan ekonomi.

Pada program ke-3, memang terselip program bantuan keuangan untuk lansia, disabilitas, pendidikan dan anak jalanan. Cukup menggembirakan, namun jumlahnya kecil dan merupakan bantuan langsung tunai, bukan sesuatu yang struktural dan meminimalisir jumlah orang miskin di perkotaan.

Kesimpulan saya ini pasti ditentang keras para birokrat. Prioritas utama Jakarta adalah banjir dan kemacetan lalu lintas, baru penanggulangan dampak ekonomi. Saya setuju, namun dengan angka APBD sebesar Rp 83,7 trilyun, Pemda DKI memiliki kemampuan untuk pemberdayaan sektor UMKM dan rumah murah. Ditambah dengan upaya kreatif memberdayakan swasta untuk menggelontorkan dana CSR kepada hal yang bersifat substansial bagi pengentasan kemiskinan.

Berapa jumlah orang miskin di Jakarta? Tidak ada angka statistik yang jelas. Angka resmi pemerintah dipastikan tidak valid. Jumlah warga yang tinggal di kolong jembatan tol, pinggir rel kereta api, bantaran sungai dan di belakangan gedung-gedung bertingkat dipastikan ratusan ribu jiwa. Silahkan anda cek di kolong jembatan tol rawa bebek exit tol Sunda Kelapa, kolong tol tongkol dan Krapu, Pejagalan, pinggir rel Kampung Dao Mangga Dua, Tanah Merah dan ratusan slums area di Jakarta.

Sulit bagi mereka untuk keluar dari jebakan kemiskinan struktural dan kultural. Sebagian dari mereka adalah generasi kedua dan ketiga. Ironisnya banyak yang tidak memiliki dokumen kependudukan sehingga tidak bisa masuk sekolah atau mendapatkan fasilitas kesehatan (BPJS) atau rumah murah. Inilah yang saya maksud sebagai kemiskinan struktural.

Tidak mudah untuk mengajak mereka untuk keluar dari gurita kemiskinan. Banyak dari orang dewasa yang fatalistik. Dunia begitu buram. Tidak ada masa depan. Dunia penuh ketidakadilan dan mereka menilai dirinya sebagai komunitas lemah yang selalu diinjak. Kemiskinan secara kultural seperti ini kerap diwariskan ke anak-anak dalam bentuk larangan untuk bersekolah karena toh nantinya cuma jadi pemulung, pengamen, pengemis, tukang parkir, PSK, atau penjahat kelas teri.

Kehidupan di slums area adalah kehidupan yang eksploitatif. Model kehidupan seperti ini paling disukai oleh rentenir dan preman. Warga butuh uang cepat, tapi tidak punya akses ke bank atau koperasi. Lembaga seperti Kelurahan, RW, RT tidak bisa masuk mereka karena mereka kategori penduduk liar yang bisa jadi nomaden dari satu kolong jembatan ke kolong jembatan lainnya. Dalam kondisi minim proteksi sosial inilah premanisme menggurita. Satu petak gubuk 3 x 3 m2 disewakan preman Rp 300.000/ bulan. Biaya MCK lain lagi. Makin padat sebuah kawasan. Makin senanglah pemilik bisnis MCK. The poor pay moore. Akibatnya mereka buang hajat sembarang. Penyakit pun menular semakin liar.

Fokus perhatian saya adalah bagaimana menyelamatkan nasib anak-anak. Sejak kecil diberdayakan sebagai pemulung dan pengamen, sementara orang tua duduk di rumah menunggu setoran. Human trafficking merajalela dalam bentuk penyewaan anak, penjualan anak di bawah umur oleh orang dewasa atau teman. Jangan salah, saya pernah meilihat seorang anak remaja perempuan di Jembatan Tiga Jakarta Utara menjual kawannya sendiri.

Inilah harga yang harus dibayar jika kita menyebut mereka sebagai penyandang penyakit sosial. Treatmentnya terlalu menyederhanakan masalah. DIrazia, dibina, lalu kambuh lagi. Kenapa? Akar masalahnya, yakni kemiskinan, tidak diatasi.

Rabu, 22 Februari 2023

Kamu saja.. Jangan Aku…



Sejak kecil, public speaking itu ditakuti dan tidak dianggap penting bagi pengembangan diri. Hanya ketua kelas atau anak dengan ranking tertinggi yang sering ditugaskan untuk bicara di depan umum. Kebiasaan itu terbawa hingga ke dunia kerja dan dunia dewasa. Tak jarang jika bicara di depan umum dianggap sebagai momok yang bisa membuat nervous.

Public speaking mestinya diajarkan secara dini, sejak pre school. Setiap anak pada dasarnya adalah penutur yang baik, asalkan diberikan kesempatan, kepercayaan dan penerimaan. Biarkan dia bereksplorasi di ruang imajinasinya. Tidak perlu diarahkan atau dikoreksi. Setiap anak itu jujur dan polos tidak terkontaminasi prasangka buruk.

Saya sangat berharap guru Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris menjadikan public speaking ini sebagai metode belajar. Pada dasarnya, bahasa itu adalah keterampilan. Cuma pengalaman saya sejak mengenal bangku sekolah hingga kuliah tidak demikian. Pelajaran bahasa kerap menjemukan karena disesaki hafalan dan target kurikulum. 

Akibatnya, hanya orang tertentu saja yang mampu menjadi public speaker. Umumnya orang lebih nyaman dan aman dalam posisi sebagai pendengar/ audience saja. Mereka dihantui phobia takut dicemooh, ditertawakan, nervous, blank, tidak tahu harus bicara apa. 

Orang yang memiliki kemampuan public speaking umumnya merupakan pribadi yang confidence, logis, dan punya kemampuan menulis secara baik. Orang yang memiliki keahlian menulis dengan struktur yang baik umumnya mampu bertutur secara runut dan jelas. Percayalah, public speaking itu bukan bakat, tapi kemampuan yang terus dilatih dan diasah dengan banyaknya jam terbang.

Menjadi public speaker bisa dimulai dari keluarga dan lingkungan atau komunitas. Belajarlah dari public speaker ternama seperti Bung Karno, Barrack Obama atau Steve Jobs. Mereka bisa jadi refensi. Tapi akhirnya, anda harus jadi sendiri karena hanya andalah yang mampu menyaurakan pikiran dan perasaan anda dengan baik.

Mulai sekarang janganlah mendorong punggung orang lain untuk maju. Ambilah setiap kesempatan untuk bicara di depan umum. Percayalah. Anda akan merasakan kepuasan dan energi baik seusai menyampaikan gagasan Anda. 

Cobain deh …


Selasa, 21 Februari 2023

Hormati Komitmen Anda Dengan Integritas





Sebagian besar hidup itu dihabiskan untuk bekerja. Alangkah indahnya jika pekerjaan yang kita lakukan adalah bagian dari aktualisasi diri. Apalagi jika kita merasa “kerja adalah hobi yang dibayar”. 

Malangnya, jika kita melakukan pekerjaan yang tidak kita sukai. Mau cari kerja lain, tapi tidak ada lowongan. Hari demi hari dilalui dengan penuh keterpaksaan. Kerja demi untuk mendapatkan uang. Tidak ada prestasi dan kepuasan batin. 

Orang yang bekerja maksimal bahkan menjadikan pekerjaan sebagai identitas diri, misalnya Bang Dedi builder motor, Bang Roni penjahit top di Bekasi, atau Iwan Suhaya pelukis naturalis yang dikenal dengan lukisan satwanya dan lain sebagainya. Orang-orang tersebut umumnya memiliki faktor penting yang menunjang kesuksesannya yakni integritas. 

Orang yang memiliki integritas melakukan pekerjaan secara maksimal, baik diawasi oleh pimpinan/ client atau sedang bekerja sendiri. Dia punya standar tinggi dalam bekerja. Sejatinya real boss orang tersebut adalah standar yang dia tetapkan sendiri, Orang seperti ini tidak perlu “cari muka”. Pekerjaan baginya adalah “karya seni”. 

Integritas merupakan komitmen, bukan level pekerjaan. Seorang direktur bisa memiliki integritas, demikian pula seorang office boy . Orang seperti ini akan memberikan service melebihi standar. Jika dia menjanjikan pekerjaan selesai dalam waktu 1 minggu, maka dalam waktu 3 – 4 hari pekerjaan itu sudah tuntas. 

Puncak kepuasaan bukan terletak pada pujian konsumen atau pimpinan, tapi achievement dari target dan KPI. 

Dimanapun orang yang memiliki integritas jumlahnya minortas. Lawannya adalah orang-orang yang bekerja tanpa idealisme, kecuali untuk mendapatkan upah. Tak jarang orang-orang tersebut sibuk mensiasati proses pekerjaan, bila perlu dengan cara kotor dan berbohong. Sejatinya orang seperti akan menjali hari demi hari penuh beban.  Tidak ada kegembiraan dalam bekerja. “Jika bisa dikerjakan lama, kenapa harus diselesaikan cepat,” ujarnya.

Bekerja sekali lagi bukan sekadar untuk mendapat uang tapi aktualisasi diri. Secara sosial kita dikenal karena profesi atau pekerjaan kita. Kita menyebut identitas pekerjaan kita dengan penuh bangga. Apapun itu. Orang lain pun akan mengingat kita karena kualitas pekerjaan kita. 

“Honor your commitments with integrity.” Les Brown


Childfree



Koran Sindo (16/02/2023) memuat berita dengan judul besar Childfree Bahayakan Kesehatan. Headline. Hampir satu halaman penuh. Sejumlah media lainnya juga memuat isu ini. Pemicunya adalah pendapat Gita Savitri, seorang influencer Indonesia yang menetap di Jerman. Menurut Gita Savitri, “Not having kids is indeed natural anti aging." Selanjutnya, ia mengatakan, "You can sleep for 8 houss every day, no stress hearing kids screaming. And when you finally got wrinkles, you have the moner to pay for botox," sambungnya.

Pernyataan Gita itu langsung memicu kontroversi. Masa sih, gak mau punya anak cuma karena alasan demi terlihat awet muda. Kok dangkal amat. Wulan Guritno dan Sophia Latjuba aja terlihat awet muda, meski punya anak. Begitu kira-kira komentar seorang netizen yang murka.

Memilih tidak punya anak adalah pilihan. Tapi jika disampaikan ke publik apalagi “dipamerkan” oleh seorang influencer, itu jadi persoalan.

Di Eropa dan Amerika, childfree bukan isu baru. Pemikiran ini sudah mulai muncul di awal tahun 1900-an. Berkembang bersamaan dengan meningkatkan pendidikan tinggi kaum wanita, meningkatnya partisipasi wanita di dunia kerja, dan menjamurnya gerakan feminisme.

Menurut Oxford Dictionary, yaitu kondisi di mana seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak.

Childfree lahir bersamaan dengan sikap untuk memilih hidup lajang, menunda pernikahan karena alasan mengejar karier dan kebebasan kaum wanita dari “perangkap tugas domestik perkawinan” . Intinya, kaum wanita punya hak setara dengan kaum pria.

Awalnya, childfree merupakan nilai yang dianut secara diam-diam dan personal. Namun belakangan dikampanyekan secara terbuka. Alasan yang dikemukakan sangat beragam. Ada yang karena alasan kecantikan seperti diutarakan Gita Savitri, namun juga ada yang karena alasan kesehatan, finansial, keleluasaan berkarier tanpa dibebani tanggung jawab membesarkan anak, dan puluhan alasan lainnya.

Bagi saya, anak adalah rejeki yang di anugerahkan Tuhan kepada hambanya. Yang namanya rejeki, pasti disyukuri dengan penuh suka cita. Tangis anak bukanlah beban tapi penyemangat hidup. Bahkan ketika hadir cucu, kebahagiaan pun semakin lengkap. Pencapaian karier tertinggi saya adalah mengantarkan anak-anak bisa menempuh hidup mandiri dan memiliki pasangan hidup yang dicintai. 

Kriteria cantik bagi orang yang berumah tangga tidak semata-mata diukur dari kekanyalan kulit dan tidak adanya kerutan. Tapi lebih substansial. Kecantikan seorang ibu saat menimang bayi memancar begitu kuat dan meninggalkan kesan mendalam.

Dunia adalah diskursus dari tesa dan antitesa. Buat saya, childfree adalah fenomena sosial biasa. Tidak perlu terlalu serius untuk menanggapi, apalagi membully orang yang pro terhadap childfree. Hidup adalah pilihan dan di dalamnya ada disematkan iman. Itulah anugrah terindah Tuhan.


Minggu, 19 Februari 2023

Yuk Bebaskan Diri Dari Toxic Internet



Interaksi di dunia maya dan dunia nyata berkontribusi kuat terhadap kondisi kesehatan psikis seseorang. Bahkan efek mental illness di sosmed bisa lebih dahsyat dibandingkan di dunia nyata. Seseorang bisa berkomentar kasar kepada seseorang yang tidak dia kenal, hanya gara-gara tidak sepaham dengan pendapat dan perilaku orang tersebut.

Di dunia nyata tidak mudah untuk bergibah, gossip atau menyebarkan berita hoax. Perlu lawan bicara untuk mentransmisikan berita bohong atau ujaran kebencian tersebut. Belum lagi barrier psikologis. Perlu nyali besar dan ekspresi meyakinkan agar “gossip murahan” tersebut laku.

Di dunia maya, cukup blast atau forward ke banyak akun, maka tersebar luaslah “fake news” tersebut. Pelakunya tidak selalu punya motif jahat. Kadang karena kurang referensi, hanya baca judul dan tanpa membaca isi pesan secara kritis langsung saja disebarluaskan. Kontennya cocok dengan preferensinya.

Di dunia modern, sosmed dijadikan sarana untuk connecting people. Kawan komunitas, satu kantor, keluarga, lingkungan, pengajian bahkan teman sekolah. Celakanya konten yang dikirim seringkali tidak sesuai dengan tidak mengindahkan perasaan orang yang kemungkinan membaca pesan tersebut. Contoh what’s up group komunitas motor, kerap disisipi konten politik yang menyerang tokoh politik yang tidak disukainya.

Konten-konten semacam itu disebut toxic internet. Orang yang terdampak bisa resisten atau sebaliknya, menerima sebagai sebuah keniscayaan bahkan diyakini sebagai budaya baru. Hal terakhir inilah yang berbahaya, yakni ketika kita permisif terhadap budaya agresif yang berpotensi melukai hak orang lain.

Solusinya adalah break echo chamber. Ekosistem yang negatif harus diputuskan. Bisa dengan cara memblokir akun-akun negatif atau left group. Intinya, keluar dari algoritma yang menjadikan kita konsumen konten-konten yang tidak baik.

Ada juga yang tetap berada dalam ekosistem tersebut, namun dia melakukan perlawan dengan memproduksi atau memposting konten positif sebagai upaya “imunisasi digital.”

Pilihan terserah kepada Anda. Pada tahap awal, saya akan melakukan imunisasi digital dengan memberikan konten tandingan, namun  jika tidak ada perubahan maka saya abaikan saja. Melihat carut-marut dunia maya kadang diperlukan juga, yang penting bisa menjaga jarak agar tetap waras.

Kamis, 16 Februari 2023

Digital Minimalism



Digital minimalism adalah cara membebaskan diri dari ketergantungan luar biasa pada teknologi digital. Salah satu bentuk penguasaan teknologi digital terhadap kehidupan manusia adalah makin besarnya penggunaan internet dalam kehidupan manusia. 

Menurut laporan APJII dan We Are Social pada tahun 2021, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai lebih dari 200 juta penduduk. Direktur Pemberdayaan Informatika, Bonifasius Wahyu Pudjianto menyebutkan bahwa rata-rata setiap pengguna mengakses internet selama 8 jam 36 menit dalam sehari.

Survei Literasi Digital 2021 oleh Katadata Insight Center (KIC) dan Kominfo menunjukkan bahwa penggunaan internet paling banyak dilakukan pada pukul 19 - 21. Selain pada jam tersebut, yang notabene adalah setelah jam kerja, penggunaan internet terbanyak berikutnya berlangsung pada 7 - 10 pagi, sebanyak 51,1 persen responden memilih waktu ini.

Tingginya penggunaan internet di luar jam kerja bagi saya cukup mengkhawatirkan. Keluarga Indonesia, khususnya di perkotaan tidak lagi menggunakan waktu senggangnya dengan bercengkrama dengan keluarga atau teman, tapi main game, menghabiskan leisure time di dunia maya. 

Lima orang sahabat sepakat untuk hangout kesebuah café, lalu tibalah di tempat yang dituju. Pesan minuman, bercengkrama, sesaat kemudian tenggelam dengan gawai masing-masing. Suami-isteri duduk di ruang keluarga, tidak ngobrol intim tapi asyik bersosial media. Pemandangan seperti ini makin lazim bahkan sudah dianggap sebagai keniscayaan. Walah….

Teknologi itu bak pisau bermata dua. Bisa menolong manusia atau sebaliknya memperbudak tanpa belas kasihan. 

Supaya kita bisa menggunakan teknologi secara bijak, maka perlu lakukan digital minimalism. Periksa HP, lalu audit. Aplikasi apa yang sering digunakan dan bernar-benar bermanfaat. Jika ditemukan aplikasi yang tidak berguna maka segera delete. Jangan takut di cap tidak “gaul” gara-gara tidak menggunakan sebuah aplikasi tertentu. 

Tidak setiap saat juga kita harus memegang HP atau “melek mata” lihat email atau pesan what’s up. Masih banyak kegiatan yang bisa meningkatkan kualitas diri dan hubungan interpersonal. Membaca buku, menulis, olah raga, bermain musik, berkumpul dengan komunitas, silaturahmi dengan keluarga adalah bentuk “pupuk organik” yang dapat membuat hidup kita makin sehat, tumbuh dan berkualitas.

Digital minimalism bukan paham menafikan teknologi digital. Tapi memaksimalkan potensi manusia agar dapat memanfaatkan teknologi digital secara maksimal. Tanpa sikap kritis tersebut, kita bisa teralienasi dari kehidupan nyata karena terperangkap menjadi budak teknologi. 

Keep healthy …..


Senin, 13 Februari 2023

Nama Itu Antropologis


Di era tahun 2000-an dipastikan sangat sulit mencari nama Asep, Ujang Nurjaman, Ajat Sudrajat, Sumino, Waginem atau Kaharuddin. Nama anak kekinian makin sulit ditebak asal daerahnya. Umumnya kebarat-baratan atau ke Arab-araban. Misalnya Rudy, Andre, Stefen,  Summer, Monica, Salsabila, Farhan atau Faiz. Universalitas lebih diutamakan dari pada primordialitas.

Dulu jika nama orang berakhiran “O” maka dipastikan orang Jawa. Misalnya Sumino atau Soeharto. Jika diulang-ulang pasti orang Sunda. Misalnya Maman Suparman. Sementara Indra Piliang, Nurdin Koto atau Andrinof Chaniago dipastikan berasal dari Minang. 

Pengecualiannya adalah Irwan Prayitno, Gubernur Sumatera Barat. Ia menjabat Gubernur Sumatra Barat dua periode hasil pemilihan Gubernur 2010 dan 2015.Walaupun nama terdengar seperti suku Jawa, namun dia berdarah Minang. Pasca penumpasan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada akhir tahun 1960-an, banyak warga Minangkabau yang menanggalkan identitas dan label keminangannya melalui perubahan nama. Mereka mencari identitas baru supaya bebas dari kejaran tentara pusat. Mengubah namanya agar seperti orang Jawa, atau menganti namanya berbau Eropa, Persia, dan Amerika Latin. Strategi ini juga digunakan agar mudah diterima di perantauan Tanah Jawa.

Di era Orde Baru, pemerintah menganjurkan agar nama warga keturunan Tionghoa menganti namanya dengan nama berbau Indonesia. Asimiliasi tapi dipaksakan. Muncullah nama-nama Indonesia yang popular digunakan warga keturunan Tionghoa antara lain Halim, Salim, Chandra/ Tjandra, Cahaya/ Tjahaja, Bambang, Agus atau Widjaja. 

Di era yang lebih demokratis dan terbuka trend nama anak adalah menonjolkan identitas agama, etnisitas dan universalitasnya. Ini fenomena antroplogis yang tidak bisa dielakan.

Warga keturunan Tionghoa kini tak ragu untuk menunjukan ke-Tionghoa-annya. Stephen Lee, Andrey Chuang, Wliliam Goh. Demikian pula orang Minang. Mereka tak ragu untuk menampilkan nama belakang Chaniago, Koto atau Piliang. 

Trend nama anak adalah produk antropologi. Didalam nama bukan hanya terkandung doa dari ayah ibu, namun juga catatan sejarah terkadang gejolak sosial politik pada dekade ketika anak itu dilahirkan.


Flexing, Penyakit Sosial Yang Diidolakan


Flexing alias pamer kekayaan di sosial media kini nyaris diterima sebagai “kewajaran”. Bagi saya, flexing itu “penyakit”. Ia menunjukan kapasitas bukan dengan kualitas dirinya tapi dengan barang mewah agar di cap “sukses”. Dalam kasus berbeda mirip dengan seorang exhibitionist yang mencapai kepuasan ketika dia memamerkan area genitalnya ataupun melakukan masturbasi di depan orang lain.

Sebagai penyakit sosial, flexing kini makin kronis. Seorang pesohor bahkan rela menyewa sebuah Lamborghini lalu diparkir di depan kerumunan wartawan agar dinilai sukses bergelimang harta. Padahal hidupnya susah payah. Menurut pengakuannya, terkadang ia hanya makan dua kali sehari. Itu pun hanya menyantap mie instan. 

Banyak pesohor yang memamerkan outfit dengan harga super fantastis. Satu cincinnya berharga Rp 1 milyar. Padahal dia pakai 10 cincin. Belum terhitung sepatu bernilai ratusan juta rupiah, celana, kemeja, topi dan kacamatanya. Jadi satu kali keluar rumah, ditaksir puluhan milyar rupiah yang menempel di tubuhnya.

Media menyebut dirinya “Sultan atau crazy rich”. Hidup begitu enteng bak lahir dari negeri dongeng. Fenomena ini benar-benar “toxic” bagi generasi muda. Mudah, kaya, jadi idola. Tidak perlu kerja keras. Cukup pamer di sosial media. 

Dulu, orang kaya Eropa di abad 19 pamer kekayaan dengan menyajikan garpu dan sendok perak dalam perjamuan makan para bangsawan. Kini tidak perlu susah payah. Cukup flexing di sosmed miliknya, lalu lahirlah crazy rich dengan segenap halusinasinya. 

Sekali berbohong, teruslah berbohong. Mereka tak ubahnya meminum air laut. Semakin diteguk justru makin kehausan. Akal dan budi pekerti tak lagi mampu mengontrol nafsu hedonisme. Kebahagiaan itu, padahal, terletak dari kemampuan bersyukur akan apa yang kita punya dan rejeki tak selalu berarti harta benda. Bisa juga hidup sehat atau keluarga yang harmonis. 

Tak satupun orang yang mengaku crazy rich ini masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia. Sang Sultan pun tidak memiliki perusahaan yang dikenal publik seperti group Sinar Mas atau Salim. “The real crazy rich” biasanya menunjukan kapasitas dengan pencapaian kinerja perusahaan atau group, bukan personal achievement. Jadi makin kuatlah kesimpulan saya bahwa fenomena crazy rich ini adalah penyakit sosial yang makin booming di sosial media. 

Kendati crazy rich dicaci karena kelakukan mereka menyakitkan banyak orang, faktanya akun sosmed mereka dibanjiri ribuan hingga jutaan followers. Media pun tak canggung memberi panggung. Sang crazy rich pun akhirnya jadi orang berpenyakit yang diidolakan publik.

Nah lho….


Selasa, 07 Februari 2023

Mafia Beras Tak Pernah Tuntas



Setiap tahun media merilis berita mafia beras. Tapi tidak pernah jadi headline. Komoditas yang satu ini nyaris tidak sepi dari gejolak. Harga fluktuatif, stok tidak pernah stabil. 

Agustus 2022 Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) memberikan penghargaan kepada Indonesia karena berhasil mencapai swasembada pangan.  Namun Jumat, 3 Februari 2023, Kepala Bulog  Budi Waseso (Buwas) kembali membongkar praktik mafia beras di Pasar Induk Beras Cipinang. 

Buwas mensinyalir dua modus pelaku. Pertama, beras kualitas premium yang diimpor Bulog dicampur dengan beras lain sehingga dapat dijual dengan harga di atas rentang harga beras medium. Kedua, pedagang mengemas ulang beras impor dari Bulog dengan karung bermerek lain dan volume dibawah 50 kg. Kedua modus berpotensi untuk dipidana karena mengandung unsur penipuan terhadap konsumen.

Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Sejak tahun 2017, pemerintah membentuk Satgas Pangan. Baik di tingkat nasional, maupun  daerah. Tugasnya sungguh mulia. Selain melakukan pengawasan harga dan ketersediaan sembako, juga melakukan penegakan hukum terhadap kartel dan mafia pangan. Law enforcement sangat dimungkinkan. Di tinggkat pusat dipimpin seorang inspektur jenderal (bintang dua). Sementara di daerah dipimpin Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda dengan anggota pejabat dari Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan. Mestinya ruang gerak para mafioso makin terbatas. Setiap jengkal diawasi anggota satgas. Tapi apa yang terjadi?

Cukong komoditi pangan jauh lebih berkuasa dibanding para pejabat satgas pangan. Gudang para cukong di daerah, 2 hingga 3 kali lebih besar dibandingkan gudang Bulog. Itu baru satu cukong. Di wilayah propinsi biasanya terdapat 3 hingga 4 cukong besar yang memasok kebutuhan konsumen 1 propinsi bahkan antar propinsi. Stok mereka jauh lebih besar dibandingkan stok Bulog. Merekalah pengendali stok dan harga. Mafia pangan terus berlangsung. Berita-berita media mampu ditekan sehingga tidak pernah jadi viral.

Gonta-ganti Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan dan Kapolri, tetap tak mampu mengatasi praktik mafia pangan. Kaki tangan mafia menggurita hingga ke instansi pemerintah bahkan lembaga penegak hukum. Pantas saja beritanya tidak pernah jadi headline. Jauh lebih heboh konser tunggal Dewa 19 di JIS atau berita KDRT artis dibandingkan soal mafia beras. Padahal isu mafia beras lebih fundamental dan menyangkut hajat hidup orang banyak. 

Amukan Buwas soal temuan mafia beras di Pasar Induk Cipinang dipastikan akan bernasib seperti petasan jangwe. Meletup kecil, lalu lenyap ditelan senyap ….

Experience vs Rasa



Kalau kita perhatikan, bisnis kuliner itu bisa dikotakkan dalam dua kubu ekstrem. Kuliner base on experience dan kuliner base on “rasa”. Tempat-tempat yang instagramable seperti kafé yang menjual kopi “kekinian”, dilengkapi wifi gratis adalah contoh tempat kuliner yang menjual “experience”. Menunya lebih nikmat jika dinikmati langsung ditempat (dine in). Beda dengan tempat kuliner yang lebih mementingkan kualitas makanan atau rasa. Misalnya rumah makan padang, Bakmi Golek, Kopi Kenangan, gerai-gerai KFC, MCD, atau warteg. Silahkan dine in, tapi lebih disukai jika drive thru. 

Bisnis kuliner base on experience itu dipastikan lebih mahal dibadingan yang base on “rasa”. Perlu biaya besar untuk membangun tempat usahanya. Tidak mungkin warung ukuran 3 x 3 meter. Lokasinya pun biasanya ditempat-tempat strategis dan mahal. Jadi wajar, jika harga makanan atau minumannya juga mahal. 

Selain investasi dan over head cost-nya mahal, kuliner yang menawarkan experience ini juga rawan bangkrut. Saat pandemi covid -19 dan pemerintah memutuskan untuk memberlakukan PSBB, bisnis model ini banyak yang gulung tikar. Beda dengan rumah makan padang atau KFC. Walau mengalami penurunan omzet, namun tetap eksis. Orderan melalui go food atau grab food tetap jalan. Bahkan saat ini sudah jadi model belanja kaum menengah perkotaan. Di beberapa gerai bahkan bisa menjamin harga pesan online dan makan di tempat dipastikan sama. 

Dari segi omzet, bisnis kuliner base on experience umumnya lebih kecil  dibandingkan yang base on rasa. Rasanya lebih menggiurkan punya gerai kecil kopi Kenangan yang melayani take away dibandingkan punya kafe besar dua lantai yang dijadikan tempat “nongkrong” anak SMA yang merayu pacarnya selama 2 jam, dan ketika closed bill cuma Rp 50,000,-. Wuiiih… ngenes!

Setiap orang punya pilihan model bisnis. Jika semua orang punya cara berpikir yang sama seperti saya, susah juga cari resto atau kafe untuk update status atau bikin konten. Cuma itu tadi, kalau tidak diimbangin rasa makanan yang enak, setlah dua tiga kali kunjungan, konsumen biasanya tidak akan balik. “yang penting gua udah pernah kesana dan foto-foto”. Bisa jadi ada tempat kuliner yang berhasil menggabungkan dua elemen (experience dan rasa) sekaligus dan sukses. Cuma jarang terjadi.

Ah.. tiba-tiba saya teringat rumah makan Sate Maranggi Hj Yetty, Purwakarta. Tempatnya simple, joglo tanpa AC tapi jika weekend ratusan orang datang memadati restoran yang berada di hutan jati itu. Mirip orang hajatan, dan umumnya rombongan. Wuiih cuan pastinya….


Rabu, 01 Februari 2023

Politik Itu Milik Tuan



Tahun politik 2023 orang ramai menggunjingkan arah koalisi partai dan calon presiden dan wakil presiden. Mulai dari perbicangan para cerdik cendikia di layar  kaca hingga obrolan di kedai kopi dan pasar becek. 

Dari sana kita bisa bayangkan bahwa politik itu benar-benar milik elit. Jangankan simpatisan, kader partai pun tak mampu menebak arah kebijakan politik partai yang diusungnya. Isu ekslusif di ruang tertutup. 

Nasdem misalnya, sebagai partai berhaluan nasionalis secara mengejutkan mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presidennya. Publik dan pendukung Nasdem pun terperanjat. Bukan saja karena Anies dilabeling sebagai kelompok kanan – Islam, Nasdem pun secara tegas berada di koalisi pemerintahan Jokowi yang bersebrangan dengan Anies. Sejumlah pengurus partai dan pendukung Nasdem di sejumlah daerah memutuskan untuk keluar partai karena alasan sudah tidak sehaluan lagi. 

Bukan hanya Nasdem, namun arah koalisi partai lain pun sangat sulit ditebak. Semuanya berlangsung secara pragmatis dan cenderung transaksional, “punya apa dan dapat apa”.

Seorang pendukung partai Republik dan Demokrat di Amerika sejak awal sudah bisa memprediksi arah kebijakan partainya, baik mengenai kebijakan perburuhan, perekonomian atau hak asasi manusia. Demikian pula dengan preperensi calon Presidennya. Sulit dibayangkan seorang konservatif seperti Donald Trump bisa berada di Demokrat. Media massa pendukunganya juga akan bersikap militan. CNN tidak mungkin mendukung Partai Republik, demikian pula dengan Fox tidak mungkin berkiblat ke Partai Demokrat. Nah, di Indonesia justru sebaliknya. Media yang semula mati-matian mendukung A pada pemilu berikutnya justru gencar menyerang A karena sang pemilik berubah haluan politik. 

Politik apalagi pemilu memang bukan kuasa rakyat. Stakeholdersnya tetap elit politik. Rakyat tetaplah floating  mass yang bisa diarahkan bahkan “dibakar” sesuai skenario elit..


Mendengarkan Apa Yang Ingin Didengarkan




Pola komunikasi seperti judul di atas dipastikan berlangsung di antara dua pihak atau lebih yang tidak berimbang, tidak jujur dan tidak asertif (komunikasi tanpa memaksakan kehendak apalagi melanggar hak orang lain). 

Pola komunikasi “mendengarkan apa yang ingin didengarkan” terjadi ketika salah satu pihak memiliki kekuasaan yang lebih dominan dibandingan lawan bicaranya. Bisa terjadi di perusahaan, organisasi bahkan di keluarga. Sang pemegang kekuasaan tersebut menggunakan “powernya” agar lawan bicaranya menyampaikan seperti yang ingin dia dengar. Konten informasi pun penuh distorsi. Padahal komunikasi yang sehat adalah “mendengarkan apa yang sebenarnya perlu ia dengar”.

Pola komunikasi “mendengarkan apa yang ingin didengarkan” selamanya berlangsung penuh kepalsuan. “Si penindas” akan seumur hidup tidak puas dan selalu merasa ada yang kurang dari apa yang didengarnya. Sebaiknya “ sang budak” juga seumur hidup akan merasa tertindas. Bisa jadi pihak luar tidak mengetahui pola komunikasi yang sedang berlangsung. Mereka kerap memanipulasinya dengan diselingi tawa dan intonasi yang wajar. 

Komunikasi yang sehat hanya bisa berlangsung diantara orang yang secara psikis sehat. Seorang yang otoriter  tidak bisa memuaskan nafsunya jika dia tidak bertemu dengan orang yang sudi diperbudaknya.

Pesan tidak akan bisa tersampaikan secara sehat jika disertai ancaman dan bentakan. Seorang guru akan terus-menerus memarahi muridnya yang sering datang terlambat hingga sang murid menyadari pentingnya datang lebih awal sehingga dia bisa mempersiapkan diri untuk belajar di sekolah lebih baik dibandingkan terlambat. 

Pola komunikasi yang agresif hanya akan melahirkan kepatuhan bukan kesadaran. Menyebabkan luka dan bukan penerimaan. Pepatah mengatakan Power tends to corrupt.. bahkan untuk komunikasi pun kekuasaan rawan penyalahgunaan..


Jika Korban Menjadi Tersangka, Lantas Hukum Tujuannya Apa?



Publik digegerkan dengan keputusan Polda Metro Jaya menetapkan Muhammad Hasya Atallah Syaputra sebagai tersangka dalam kasus tabrakan sepeda motor yang dikemudikan Hasya dengan mobil Pajero yang dikendarai oleh  AKBP (purn) Eko Setia Budi Wahono (10/2022). Kasus ini akhirnya dihentikan (SP3) karena pelaku telah meninggal dunia. 

Pasca penetapan tersangka kepada korban mahasiswa UI tersebut, media langsung heboh dan tak satupun pemberitaan yang mendukung sikap Dirlantas Polda Metro Jaya yang kontroversial tersebut. Sentimen media sangat negatif.

Kompolnas berjanji akan memeriksa kasus ini sehingga transparan dan memenuhi rasa keadilan. Indonesia Police Watch (IPW) mendesak agar Polri melakukan gelar perkara ulang karena ditemukan sejumlah kejalanggalan. Selain dugaan penyidik tidak imparsial karena salah satu pihak adalah pensiunan polisi, juga ada bukti polisi mengarahkan keluarga Hasya untuk berdamai dengan pengemudi Pajero. Mediator mestinya netral. Keputusan berdamai adalah keputusan para pihak dan tidak boleh diarahkan oleh mediator. 

Saya langsung teringat kasus di wilayah hukum Polda NTB pada April 2022. Saat itu Murtede alias Amaq Sinta dibegal 4 orang. Para perampok itu berusaha merampas sepeda motor milik Murtede. Aksi membela diri dalam perkelahian itu mengakibatkan dua pelaku begal tewas di tangannya. Malangnya, ia justru ditetapkan sebagai tersangka. 

Kasus korban begal jadi tersangka di NTB ini viral dan mengundang kecaman banyak pihak termasuk Menkopulhukam Prof Machfud M.D. Mabes Polri pun turun tangan memeriksa kasus ini. Kapolda NTB Inspektur Jenderal Polisi Djoko Poerwanto akhirnya mengumumkan penghendian kasus itu (SP3) dan membebaskan korban dari tuntutan hukum.

Kok bisa korban ditetapkan sebagai tersangka dengan konsekuensi di penjara atau kehilangan hak atas santunan dan menyandang nama buruk sebagai pelaku tindak pidana? 

Secara hukum hal tersebut sangat dimungkinkan tergantung pada tujuan hukum apa yang ingin dipenuhi? Teori hukum klasik  menyebutkan ada 3 tujuan hukum, yakni: untuk asas keadilan, asas manfaat dan kepastian hukum. Tujuan terakhir inilah yang hendak dipenuhi oleh penyidik Dirlantas Polda Metro Jaya. 

Pertanyaan selanjutnya adalah kepastian hukum siapa? Dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan meninggalnya mahasiswa UI itu adalah kepastian hukum bagi AKBP (purn) Eko Setia Budi Wahono. 

Buat Pak Eko, kasusnya sudah jelas bahwa meninggalnya Hasya diakibatkan oleh kelalaian korban dalam mengemudikan sepeda motornya yang mengakibatkan nyawanya hilang atau meninggal dunia. Hasya akhirnya ditetapkan sebagai tersangka alias pelaku. Kemudian karena pelakunya sudah meninggal maka kasusnya dihentikan alias SP3. 

Pak Eko sudah mendapatkan kepastian hukum tapi tidak bagi keluarga Hasya, media massa dan sejumlah pengamat hukum yang mendukungnya. 

Kasusnya mungkin akan berbeda jika kepastian hukum dilihat dari sudut kepentingan Hasya. Seandainya penyidikan dilakukan dari sudut kepentingan korban lalu dihadirkan ahli dan pihak Dirlantas Polda Metro Jaya tidak buru-buru menyarankan damai kepada keluarga korban kemudian menetapkan SP3 maka tujuan hukum untuk memenuhi asas manfaat bagi sebanyak mungkin orang dan terpenuhinya rasa keadilan bisa tercapai. 

Integritas Polri kembali diuji. Jangan sampai polisi meralat sikap setelah publik marah. 


Clickbait: Anak Haram Yang Diandalkan Media



Sejumlah wartawan menyebut kemunculan clickbait sebagai kematian jurnalisme. Kesimpulan tersebut menurut saya terlalu berlebihan. Clickbait adalah penulisan judul tulisan atau tayangan dengan cara bombastis dan provokatif di era digital. Di era kejayaan media cetak, judul berita semacam ini biasa digunakan jurnalisme kuning atau korban kuning. Misalnya Rakyat Merdeka, Poskota atau Lampu Merah. 

Di masa kejayaannya, media tersebut sangat sukses. Poskota bahkan pernah mengungguli Kompas sebagai koran paling banyak dibaca di Jakarta. Keberhasilan media tersebut akhirnya diikuti perusahaan media lainnya untuk menerbitkan media dengan gaya sama: yellow journalism. Jurnalisme kuning pernah berjaya, tapi media arus utama tetap tidak kehilangan pembacanya.

Istilah ini diciptakan oleh editor New York Press Ervin Wardman, yang mencetuskan istilah "new journalism" dan "nude journalism". Namun pada Januari 1897, ia menggantinya dengan "yellow-kid journalism", yang kemudian disingkat menjadi "jurnalisme kuning" yang dikenal sekarang.

Clickbait jurus jitu untuk meningkatkan pageviews dan traffic website.  Sebetulnya tidak jadi masalah jika judul sesuai dengan isi. Namun yang umumnya terjadi sebaliknya. Penulis tidak peduli jika pembaca kecewa dan menggerutu karena merasa ditipu. Clickbait adalah era ketika missi jurnalisme semula to inform berubah menjadi to be click. 

Dibenci Tapi Dipilih

Penyebutan clickbait atau umpan klik digunakan sejumlah jurnalis untuk merendahkan tulisan yang bombastis dan menyesatkan. Ciri utamanya adalah overpromising dan underdelivering. 

Jujur, saya juga pernah beberapa kali jadi korban clickbait untuk tulisan kesehatan. Misalnya Ini yang terjadi dengan darah anda jika anda meminum….  Tulisan dibuat dalam multi pages. Namun hingga halaman terakhir fakta yang dijanjikan tidak ditampilkan.

Setiap orang punya naluri untuk mengetahui sesuatu. Inilah yang dimanfaatkan para penulis clickbait. Penggunaan clickbait lazim digunakan pada penulisan copy writing di dunia advertising. Model tulisan tersebut tabu untuk diterapkan di jurnalisme publik yang terikat kode etik. 

Merujuk pada perjalanan sejarah jurnalisme kuning maka clickbait adalah fenomena biasa yang terjadi ketika media dirasuki kepentingan komersial (infomersial). Clickbait tidak akan pernah mengeser jurnalisme arus utama. Sebaliknya industri media arus utama pun juga membuka media popular yang menggunakan jurus jurnalisme kuning dan clickbait. 

Sejumlah jurnalis idealis teriak “say no to click bait”. Tapi pertanyaannya media mana yang  tidak pernah menggunakan clickbait? Sekelas CNN pun pernah melakukannya. Clickbait jadi semakin lazim dan perlahan-lahan akan diterima sebagai keniscayaan bisnis sebagaimana media televisi menerima penayangan infotainment dan kisah misteri yang sejak awal menuai pro kontra.