Publik digegerkan dengan keputusan Polda Metro Jaya menetapkan Muhammad Hasya Atallah Syaputra sebagai tersangka dalam kasus tabrakan sepeda motor yang dikemudikan Hasya dengan mobil Pajero yang dikendarai oleh AKBP (purn) Eko Setia Budi Wahono (10/2022). Kasus ini akhirnya dihentikan (SP3) karena pelaku telah meninggal dunia.
Pasca penetapan tersangka kepada korban mahasiswa UI tersebut, media langsung heboh dan tak satupun pemberitaan yang mendukung sikap Dirlantas Polda Metro Jaya yang kontroversial tersebut. Sentimen media sangat negatif.
Kompolnas berjanji akan memeriksa kasus ini sehingga transparan dan memenuhi rasa keadilan. Indonesia Police Watch (IPW) mendesak agar Polri melakukan gelar perkara ulang karena ditemukan sejumlah kejalanggalan. Selain dugaan penyidik tidak imparsial karena salah satu pihak adalah pensiunan polisi, juga ada bukti polisi mengarahkan keluarga Hasya untuk berdamai dengan pengemudi Pajero. Mediator mestinya netral. Keputusan berdamai adalah keputusan para pihak dan tidak boleh diarahkan oleh mediator.
Saya langsung teringat kasus di wilayah hukum Polda NTB pada April 2022. Saat itu Murtede alias Amaq Sinta dibegal 4 orang. Para perampok itu berusaha merampas sepeda motor milik Murtede. Aksi membela diri dalam perkelahian itu mengakibatkan dua pelaku begal tewas di tangannya. Malangnya, ia justru ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus korban begal jadi tersangka di NTB ini viral dan mengundang kecaman banyak pihak termasuk Menkopulhukam Prof Machfud M.D. Mabes Polri pun turun tangan memeriksa kasus ini. Kapolda NTB Inspektur Jenderal Polisi Djoko Poerwanto akhirnya mengumumkan penghendian kasus itu (SP3) dan membebaskan korban dari tuntutan hukum.
Kok bisa korban ditetapkan sebagai tersangka dengan konsekuensi di penjara atau kehilangan hak atas santunan dan menyandang nama buruk sebagai pelaku tindak pidana?
Secara hukum hal tersebut sangat dimungkinkan tergantung pada tujuan hukum apa yang ingin dipenuhi? Teori hukum klasik menyebutkan ada 3 tujuan hukum, yakni: untuk asas keadilan, asas manfaat dan kepastian hukum. Tujuan terakhir inilah yang hendak dipenuhi oleh penyidik Dirlantas Polda Metro Jaya.
Pertanyaan selanjutnya adalah kepastian hukum siapa? Dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan meninggalnya mahasiswa UI itu adalah kepastian hukum bagi AKBP (purn) Eko Setia Budi Wahono.
Buat Pak Eko, kasusnya sudah jelas bahwa meninggalnya Hasya diakibatkan oleh kelalaian korban dalam mengemudikan sepeda motornya yang mengakibatkan nyawanya hilang atau meninggal dunia. Hasya akhirnya ditetapkan sebagai tersangka alias pelaku. Kemudian karena pelakunya sudah meninggal maka kasusnya dihentikan alias SP3.
Pak Eko sudah mendapatkan kepastian hukum tapi tidak bagi keluarga Hasya, media massa dan sejumlah pengamat hukum yang mendukungnya.
Kasusnya mungkin akan berbeda jika kepastian hukum dilihat dari sudut kepentingan Hasya. Seandainya penyidikan dilakukan dari sudut kepentingan korban lalu dihadirkan ahli dan pihak Dirlantas Polda Metro Jaya tidak buru-buru menyarankan damai kepada keluarga korban kemudian menetapkan SP3 maka tujuan hukum untuk memenuhi asas manfaat bagi sebanyak mungkin orang dan terpenuhinya rasa keadilan bisa tercapai.
Integritas Polri kembali diuji. Jangan sampai polisi meralat sikap setelah publik marah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar