Saya menyukai semua jenis musik termasuk keroncong, semata-mata karena penghormatan secara antropologis terhadap masyarakat pegiat musik tersebut.
Berawal
keinginan untuk membuat liputan budaya Betawi, saya memperoleh sedikit informasi
tentang Kampung Tugu di anjungan DKI
Jakarta, TMII. Secara tidak disengaja bertemu dengan Andre Michiels. Pimpinan
salah satu kelompok musik Keroncong Tugu. Selain keluarga Michiels ada satu
kelompok musik yang dikelola keluarga Quicko. 
Warga Tugu adalah komunitas keturunan Portugis dan cikal-bakal musik keroncong di Indonesia sebelum menyebar ke Jawa Tengah dan daerah lainnya. Pertemuan dengan keluarga Michiels itu betul-betul hanya kebetulan. Menurut sejumlah literatur, terdapat 6 fam keluarga Tugu yang bisa dikenali dari nama belakangnya yakni: Abrahams, Andries, Cornelis, Michiels, Broune dan Quiko.
Tidak
disangka bahwa reportase pada tahun 1995 di sebuah rumah tua bersejarah di
Jalan Tugu Jakarta Utara akan terus berlanjut dengan liputan atau diskusi
tentang kebudayaan masyarakat Tugu lainnya. Tak berkesudahan. Begitu banyak
yang bisa digali dari sebuah komunitas budaya yang tidak terlalu besar dibandingkan
etnis lainnya. 
Dari
masyarakat Tugu saya belajar tentang kebanggaan terhadap budaya leluhur.
Rupanya ini adalah resep dari lestarinya sebuah komunitas antropoligis dan produk
kebudayaannya. Tugu bagi mereka bukan sekadar wilayah geografis tapi jati diri.
Apapun profesi dan status sosialnya, orang Tugu pasti cinta lagu keroncongnya.
Ini berlaku bukan saja bagi orang Tugu yang tinggal di daerah Tugu, namun juga bagi
mereka yang sudah tersebar ke berbagai daerah bahkan luar negeri. Mereka tetap
menjadi “orang Tugu”, dan sebisa mungkin akan hadir pada tradisi rabo-rabo dan
mandi-mandi.
Rabo-rabo
diselenggarakan setiap tanggal 1 Januari. Satu keluarga yang dituakan akan
mengawali tradisi dengan bermain musik keroncong di halaman rumah, lalu
berkunjung ke rumah warga Tugu lainnya. Tuan rumah yang dikunjungi akan
menyambut dengan menyanyikan lagu dan minuman. Mereka akan mengutus anggota
keluarga untuk mengikuti rombongan. Begitu seterusnya hingga rombongan makin
panjang dan pastinya semakin meriah. 
Sedangkan
mandi-mandi adalah tradisi sepekan setelah tahun baru. Diiringi alunan khas
musik keroncong, warga Tugu saling mencoreng muka dengan bedak cair. Tradisi
ini dimaknai saling memaafkan. 
Seluruh
pengunjung yang datang dipastikan mukanya akan penuh coretan. Ceria dan penuh
gelak tawa. Cinta budaya tak membuat mereka menjadi tertutup dan
primordialistik.
Belum
pernah saya melihat sebuah komunitas budaya yang begitu solid seperti warga
Tugu. Tidak cengeng merengek bantuan pemerintah. Tangguh menghadapi gempuran
budaya, meskipun diterjang K-Pop dan Barat lewat medsos dan media budaya pop
lainnya.
Coba
nikmati lagu cafrinho saat malam turun ke bumi. Tiba-tiba saya membayangkan
sejumlah warga Tugu dengan pakaian khasnya, lengkap dengan syal dan topinya
memainkan musik indah bersahaja dari hati mereka. 
Cafrinho kiteng santadu 
Lanta pio, bate-bate 
Cafrinho kere anda kaju 
Tira terban naji sako 
Pasa-pasa na bordu mar 
Ola nabio kere nabiga 
Sehat selalu Bung Andre, Sartje, Arthur, Tino, Lisa, Keluarga Quicko dan fam Tugu lainnya. Teruslah bernyanyi, melintasi waktu dan peradaban…

 


