Sebetulnya Paris sudah lama tidak lagi menjadi romantic city. Banyak turis yang jadi sasaran kejahatan. Sebagai orang Asia kita menduga bahwa melancong ke benua biru pastilah aman. Kenyataannya sebaliknya. Pelakunya umumnya warga lokal. Selain Perancis, Italy dan Spanyol juga tercatat sebagai negara dengan kriminalitas tinggi.
Merujuk
pada kerusuhan di Perancis, maka kondisi sosial Perancis sangat rapuh. Sentimen
rasial mudah meledak. Kasus kekerasan apapun bisa menjadi trigger amuk massa sebagai pelampiasan stress sosial akibat meningkatnya inflasi dan angka pengangguran di
kota mode dunia itu.
Bagaimana
dengan Indonesia? Tidak ada jaminan kasus kerusuhan di Paris tidak terjadi di
Indonesia. Kita pernah punya pengalaman pahit ketika isu agama dijadikan materi
kampanye pilpres, pilkada, bahkan pemilihan ketua osis. Sara adalah racun
dahsyat yang mampu menyulut segregasi sosial. In group feeling dalam sekejap berubah menjadi chauvinisme
yang membius sekelompok orang dan meyakini ideologinya lebih benar dibandingkan
orang lain. Calon kami lebih berhak memimpin dibandingkan calon kalian, dan
seterusnya. Cebong, kampret adalah stigma yang membuat “kami” beda dengan “kalian”.
Kita
tidak boleh terbuai dengan slogan “NKRI harga mati” atau “Aku Indonesia.” Sikap
waspada patut terus dikembangkan. Pemerintah harus berani mengatur bahkan
melakukan penegakan hukum terhadap setiap upaya membangun chauvinisme gaya baru. Dilain pihak, masyarakat pun mesti memiliki
kesadaran tinggi tentang pentingnya mempertahankan pluralisme. “Bhineka Tunggal
Ika” nilai yang tetap relevan kita pertahankan. Jangan biarkan bumi pertiwi
dijadikan killing fields demi ego
kelompok. 
Indonesia
pernah diguncang konflik sara. Di era kolonial, beberapa kali etnis Tionghoa
menjadi sasaran amuk massa kelompok pribumi. Pada tahun 1999 terjadi konflik
agama di Ambon antara Islam dan Kristen. Ketegangan antar dua kelompok agama
ini berlangsung lama dan meluas. 
Di
Sampit pada tahun 2001 terjadi konflik antara Suku Dayak dengan Madura. Human
right index kita merosot tajam hampir menyamai negara Afrika yang tengah
dilanda konflik antar suku. Potongan tubuh suku Madura di pamerkan di
jalan-jalan dan sejumlah media nasinal dan internasional memuat tragedi
kemanusiaan ini secara luas.
Di
penghujung kekuasaan Orde Baru terjadi kerusuhan yang berakhir dengan
tumbangnya rezim Orde Baru. Namun di era itu juga terjadi konflik etnis antara
pribumi dengan kelompok Tionghoa. Penjarahan, pembunuhan dan perkosaan terjadi.
Tidak ada laporan pasti berapa jumlah korban. 
Kasus
tersebut buka hanya menorehkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia, tapi
mencoreng martabat Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kemana perginya bangsa yang
santun, ramah dan berbudaya ini?
Pada
tahuh 2000 terjadi konflik golongan agama. Kelompok penganut Ahmadiyah dan
Syiah dibantai. Masjid dan rumah mereka dibakar. Konflik ini sangat aneh karena
kelompok Ahmadiyah dan Syiah telah lama ada di Indonesia dan sejauh ini tidak
terjadi gesekan. Hidup damai di tengah perbedaan.
Kasus
tadi adalah contoh bahwa simpul persatuan bangsa Indonesia tidak terlalu kokoh.
Ada saja pihak yang berusaha mencerai-beraikannya. 
Berpulang
pada kita sebagai anak bangsa. Tuhan memang menganugerahkan perbedaan bagi
bangsa Indonesia. Tugas kita adalah merawatnya.
 
