Rabu, 08 Maret 2023

Sego, Sangu, dan Sagu…


Tahukah anda
bahwa beras yang kerap harga dan stoknya bikin gaduh, ternyata bukan makanan asli nenek moyang bangsa Indonesia. Berdasarkan pahatan relief pada Candi Borobudur, Prof. Nadirman Haska menyimpulkan bahwa sagu adalah makanan pokok nenek moyang Indonesia. Beras dibawa masuk ke Nusantara bersamaan oleh orang India bersamaan dengan masuknya agama Hindu.

Beras yang setelah diolah disebut nasi oleh masyarakat Jawa disebut sego. Sedangkan masyarakat Sunda menyebutnya sangu. Sego dan sangu dalam bahasa sesungguhnya adalah sagu(https://finance.detik.com/industri/d-3108281/bukan-beras-ini-makanan-asli-ri-sejak-zaman-kerajaan).

Indonesia memiiki lahan sagu cukup luas, 1.4 juta hektar. Tersebar di Sumatera, Kalimantan, Maluku hingga Papua. Baru 5% yang dimanfaatkan. 95% tumbuh alami.

Sagu dapat dimanfaatkan sebagai bahan kebutuhan pokok alternatif pengganti beras. Di dalam sagu terdapat karbohidrat dalam jumlah yang cukup banyak. Selain itu, sagu mengandung protein, vitamin, dan mineral, meski jumlahnya tidak banyak. Terdapat 94 gram karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5 gram serat, 10 mg kalsium, dan 1,2 mg zat besi dalam 100 gram sagu kering.

Sagu tak hanya diolah menjadi bubur papeda saja. Kini sudah ada yang mengolah menjadi mpek-mpek, siomay, ongol-ongol, dan beragam kuliner lezat bergizi lainnya.

Sayangnya makanan nenek moyang Indonesia tersebut kian hari kian terpinggirkan. Kebijakan pangan nasional yang memprioritaskan beras menjadikan sagu menjadi makanan “kelas 2”, Orang Indonesia Timur pun mayoritas kini mengonsumsi beras.

Ketahanan pangan pun identik dengan swasebada beras yang terus kisruh gara-gara ulah mafia pangan yang semakin sulit ditangani.

Alih fungsi lahan dari hutan sagu menjadi lahan tanaman padi di sejumlah wilayah juga mengakibatkan deforestasi yakni situasi hilangnya tutupan lahan dan atribut-atributnya yang berimplikasi pada hilangnya struktur dan fungsi hutan itu sendiri. Belum lagi pembabatan tanaman sagu untuk kepentingan perluasan lahan sawit.

Potensi sagu di Indonesia luar biasa. Jika dimanfaatkan, maka bisa mengatasi masalah ketahanan pangan nasional. Sekitar 50% potensi sagu dunia ada di Indonesia. Sekitar 90% potensi sagu Indonesia berada di Papua.

Pemanfaatan potensi sagu yang begitu besar di Indonesia akan menguntungkan secara ekonomis, budaya, lingkungan, dan politik. Mengonsumsi sagu, berarti melestarikan makanan nenek moyang kita. Butuh political will yang kuat dari pemerintah untuk menjadikan sagu sebagai makanan utama pengganti beras.

Kendati lahan lagu terbesar ada di Papua, namun popularitas sagu terkenal hingga seluruh pelosok nusantara. Di Minang, ada makanan khas yakni lompong sagu, makanan tradisional yang terbuat dari tepung sagu dan beberapa bahan lainnya yang kemudian dibakar setelah dibungkus dengan daun pisang.

Lompong sagu lompong sagu bagulo lawang

Di tangah tangah di tangah tangah karambia mudo

Sadang katuju sadang katuju dirabuik urang

Awak juo awak juo malapeh hawo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kenapa Depok Disebut Kota Petir?

  Depok tercatat dalam Guinness Book of World Record sebagai kota dengan petir paling ganas di dunia. Dari hasil penelitian Prof. Dr. Ir. Di...