Judul di atas adalah ilustrasi ketika kita mengabaikan krisis komunikasi. Umumnya institusi segera merespon jika yang terjadi adalah krisis finansial, kebakaran, terorisme atau bencana alam. Mitigasi krisis di sejumlah perusahaan pun biasanya di terapkan jika terjadi bencana alam atau kebakaran. Padahal hancurnya reputasi perusahaan kerap diawali dengan krisis komunikasi yang mengakibatkan krisis finansial lalu menggerogori fundamental perusahaan.
Kasus Meikarta yang dibully habis-habisan gara-gara menuntut 18 konsumennya ke meja hijau pasca demo dan menuntut refund atas uang pembelian unit apartemen yang dibelinya. Demikian pula dengan pelaporan pencemaran nama baik yang dilakukan serikat karyawan Garuda kepada youtuber Rius Vernandes pada tahun 2019 juga contoh kesalahan humas korporat dalam merespon keluhan konsumen yang berujung krisis komunikasi.
Sekedar mengingatkan, Rius Vernandes dalam penerbangan dari Sydney ke Bali dia diberikan menu makanan dalam secarik kertas dan ditulis tangan seadanya. Penumpang lain pun diberikan kertas menu yang sama. Padahal Rius berada di kelas bisnis. Rius merekam dan meng-upload layanan Maskapai Garuda tersebut dalam story videonya. Alih-alih merespon dengan menjanjikan perbaikan layanan, pihak Garuda menerbitkan larangan membuat konten video dan foto di pesawat dan Serikat Karyawan Garuda melaporkan Rius dengan tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik.
Salah Sejak Diagnosa
Kesalahan praktisi humas Garuda dan Meikarta dimulai sejak mereka melakukan identifikasi masalah. Tahapan ini mirip fase awal dokter ketika mengdianosis keluhan pasiennya. Kesalahan tersebut berujung salah memberikan resep. Akibatnya, penyakit pasien makin akut, bahkan bisa berakibat lebih parah. Demikian pula dalam kasus Meikarta, Garuda dan banyak kasus kesalahan penanganan keluhan konsumen lainnya.
Kesalahan pada tahap identifikasi awal biasanya berlanjut pada kesalahan dalam analisa dan pilihan strategi penyelesaian masalah. Secara teoritik, setelah melakukan identifikasi dan analisis, seorang praktisi public relation (pr) harus melakukan isolasi masalah dan diakhiri dengan penyampaikan pilihan strategi penyelesaian masalah.
Menurut profesor Deanne Brocato dari Boston College ada 4 respon yang biasanya dilakukan institusi ketika diterpa krisis yakni: apologize, deny, justify atau excuse.
Kasus Meikarta dan Garuda punya kemiripan. Memilih penyelesaian hukum dalam merespon keluhan konsumennya. Menurut Firsan Nova, PR and law: an uneasy alliance. Tugas lawyer adalah memenangkan kasus hukum kliennya. Sedangkan tugas PR adalah memulihkan citra klien di mata publik. Henry Surya, Bos KSP Indosurya bebas dari jeratan hukum setelah sebelumnya dituntut jaksa penuntut umum 20 tahun pidana penjara. Meski berhasil lepas dari jeratan hukum namun dimata publik dia tetap dituding bersalah dan merugikan ribuan nasabahnya.
Menjawab keluhan konsumen dengan tuntutan hukum rawan tudingan anti kritik atau membungkam kritik dengan hukum. Namun langkah hukum tidak selalu salah. Dalam kasus pembobolan dana nasabah Citibank oleh Senior Relation Manager Citibank Inong Malinda Dee, pemidanaan oleh Manajemen Citibank terhadap Malinda Dee yang diikuti pengembalian dana nasabah secara penuh justru jadi advertorial terbaik sepanjang sejarah Citibank. Demikian pula pemidanaan mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo dan mantan Kapolda Sumbar Tedi Minahasa adalah exit strategy tepat bagi institusi Polri. Polri perlahan dapat memperbaiki citra meski demage yang dilakukan oleh kedua perwira tinggi Polri tersebut sangat dahsyat bagi Polri.
Mengaku salah bukan berarti kalah. Sebaliknya bisa menjadi materi peningkatan brand image. Dengan strategi pr yang baik, konsumen yang semula menyerang bisa bantu meng-endorse produk atau layanan perusahaan. Good experience is best campaign.
Ada banyak solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan krisis komunikasi. Namun banyak perusahaan yang secara gegabah memutuskan untuk melakukan penyangkalan (denying) dan menuntut konsumennya. Mereka baru sadar ketika telah terkapar…

 

