Senin, 30 Januari 2023

Telat Sadar, Akhirnya Terkapar




Judul di atas adalah ilustrasi ketika kita mengabaikan krisis komunikasi. Umumnya institusi segera merespon jika yang terjadi adalah krisis finansial, kebakaran, terorisme atau bencana alam. Mitigasi krisis di sejumlah perusahaan pun biasanya di terapkan jika terjadi bencana alam atau kebakaran. Padahal hancurnya reputasi perusahaan kerap diawali dengan krisis komunikasi yang mengakibatkan krisis finansial  lalu menggerogori fundamental perusahaan.

Kasus Meikarta yang dibully habis-habisan gara-gara menuntut 18 konsumennya ke meja hijau pasca demo dan menuntut refund atas uang pembelian unit apartemen yang dibelinya. Demikian pula dengan pelaporan pencemaran nama baik yang dilakukan serikat karyawan Garuda kepada youtuber Rius Vernandes pada tahun 2019 juga contoh kesalahan humas korporat dalam merespon keluhan konsumen yang berujung krisis komunikasi.  

Sekedar mengingatkan, Rius Vernandes dalam penerbangan dari Sydney ke Bali dia diberikan menu makanan dalam secarik kertas dan ditulis tangan seadanya. Penumpang lain pun diberikan kertas menu yang sama. Padahal Rius berada di kelas bisnis. Rius merekam dan meng-upload layanan Maskapai Garuda tersebut dalam story videonya. Alih-alih merespon dengan menjanjikan perbaikan layanan, pihak Garuda menerbitkan larangan membuat konten video dan foto di pesawat dan Serikat Karyawan Garuda melaporkan Rius dengan tuduhan penghinaan dan pencemaran nama baik. 

Salah Sejak Diagnosa

Kesalahan praktisi humas Garuda dan Meikarta dimulai sejak mereka melakukan identifikasi masalah. Tahapan ini mirip fase awal dokter ketika mengdianosis keluhan pasiennya. Kesalahan tersebut berujung salah memberikan resep. Akibatnya, penyakit pasien makin akut, bahkan bisa berakibat lebih parah.  Demikian pula dalam kasus Meikarta, Garuda dan banyak kasus kesalahan penanganan keluhan konsumen lainnya.

Kesalahan pada tahap identifikasi awal biasanya berlanjut pada kesalahan dalam analisa dan pilihan strategi penyelesaian masalah. Secara teoritik, setelah melakukan identifikasi dan analisis, seorang praktisi public relation (pr) harus melakukan isolasi masalah dan diakhiri dengan penyampaikan pilihan strategi penyelesaian masalah.

Menurut profesor Deanne Brocato dari Boston College ada 4 respon yang biasanya dilakukan institusi ketika diterpa krisis yakni: apologize, deny, justify atau excuse. 

Kasus Meikarta dan Garuda punya kemiripan. Memilih penyelesaian hukum dalam merespon keluhan konsumennya. Menurut Firsan Nova, PR and law: an uneasy alliance. Tugas lawyer adalah memenangkan kasus hukum kliennya. Sedangkan tugas PR adalah memulihkan citra klien di mata publik.  Henry Surya, Bos KSP Indosurya bebas dari jeratan hukum setelah sebelumnya dituntut jaksa penuntut umum 20 tahun pidana penjara. Meski berhasil lepas dari jeratan hukum namun dimata publik dia tetap dituding bersalah dan merugikan ribuan nasabahnya. 

Menjawab keluhan konsumen dengan tuntutan hukum rawan tudingan anti kritik atau membungkam kritik dengan hukum.  Namun langkah hukum tidak selalu salah. Dalam kasus pembobolan dana nasabah Citibank oleh Senior Relation Manager Citibank Inong Malinda Dee, pemidanaan oleh Manajemen Citibank terhadap Malinda Dee yang diikuti pengembalian dana nasabah secara penuh justru jadi advertorial terbaik sepanjang sejarah Citibank. Demikian pula pemidanaan mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo dan mantan Kapolda Sumbar Tedi Minahasa adalah exit strategy tepat bagi institusi Polri. Polri perlahan dapat memperbaiki citra meski demage yang dilakukan oleh kedua perwira tinggi Polri tersebut sangat dahsyat bagi Polri.

Mengaku salah bukan berarti kalah. Sebaliknya bisa menjadi materi peningkatan brand image. Dengan strategi pr yang baik, konsumen yang semula menyerang bisa bantu meng-endorse produk atau layanan perusahaan.  Good experience is best campaign. 

Ada banyak solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan krisis komunikasi. Namun banyak perusahaan yang secara gegabah memutuskan untuk melakukan penyangkalan (denying) dan menuntut konsumennya.  Mereka baru sadar ketika telah terkapar…

 



Selasa, 24 Januari 2023

Everyone can be a public speaker


Statement di atas terinspirasi tagline Air Asia, maskapai terbesar swasta asal Malaysia. Sebagai maskapai low cost carrier, tagline "now everyone can fly"tersebut “nonjok banget”.  Selain low cost, Air Asia sering buat promo. Tungguin aja. Promonya “gila abiz”. 

Buat saya, menjadi public speaker itu bisa profesi, tapi juga bisa merupakan tanggung jawab sosial. Misalnya, seringkali kita dipaksa berpidato di lingkungan RT, RW, kantor, komunitas gereja, masjid, atau komunitas hobi.  Kita dipercaya untuk menjadi berpidato atau menjadi juru bicara karena jabatan paling tinggi, paling tua umurnya atau alasan personal lainnya. Tak elok rasanya kita menolak kepercayaan itu hanya karena grogi, takut ditertawakan atau kendala psikologis lainnya. Aneh memang. Kok takut? Padahal audience-nya adalah keluarga atau kerabat kita sendiri.

Publlic speaking memang menjadi hal yang paling ditakuti di dunia. Survey yang dilakukan oleh The People’s Almanac Book of List terhadap 3000 orang di Amerika mengenai ketakutan terbesar mereka. 630 orang alias 21% menyatakan bahwa public speaking adalah hal yang paling menakutkan. Ketimbang kematian yang berada di posisi ketujuh, sementara public speaking menempati urutan pertama, mengalahkan: ketinggian, serangga, dan hama termasuk bangkrut.

Banyak hal yang menyebabkan timbulnya ketakutan saat berbicara di depan umum, seperti takut salah, takut ditanya dan tidak dapat menjawab, takut lupa, takut audien lebih pintar, sampai takut dipermalukan.

Critical eleven

Dalam dunia penerbangan, ada istilah terkenal yang dinamai critical eleven atau sering juga disebut Plus Three Minus Eight. Istilah critical eleven adalah waktu krisis atau genting di mana kecelakaan pesawat sering kali terjadi, yakni tiga menit pertama dan delapan menit terakhir penerbangan.

Tiga menit pertama digunakan untuk mencari posisi stabil dan mengontrol kecepatan ketika pesawat mulai mengudara. Sementara delapan menit terakhir digunakan untuk menurunkan kecepatan dan menyesuaikan dengan landasan. Selama rentang waktu critical eleven, awak kabin dilarang berkomunikasi dengan kokpit kecuali ada hal darurat dan awak kokpit harus menahan diri dari aktivitas yang tidak terkait dengan kontrol pesawat.

Dalam komunikasi publik, opening dan closing adalah dua hal paling penting  untuk menciptakan pidato atau kata sambutan yang powerfull. Gagal meraih perhatian audien pada pembukaan maka kemungkinan pidato kita akan berlangsung tanpa makna dan perhatian. Demikian pula dengan bagian penutupan. Jika tidak dipersiapkan denga baik, maka audien akan tidak mendapatkan pesan penting dari pidato yang kita sampaikan. 

Teori ini bukan berarti mengesampingkan pentingnya isi pidato. Bagian ini biasanya menjabarkan isi pesan yang dikemas menarik saat pembukaan (opening). 

Pelajarilah bagaimana public speaker dunia seperti Soekarno, Barrack Obama, Larry King menyihir pendengarnya. Namun tidak perlu menirunya. Tetaplah jadi diri sendiri. Komunikasi yang efektif adalah yang berasal dari hati yang jujur….


Senin, 23 Januari 2023

KENAPA HARUS BELAJAR KOMUNIKASI?


 

Kok belajar komunikasi? Kan setiap hari kita bicara? 

Komunikasi dan bicara adalah dua hal yang berbeda. Orang yang berbicara belum tentu sedang berkomunikasi. Contohnya balita usia 1 tahun. Dia sudah bisa bicara annaa… auuuu… imiiii…. Dia bicara dengan orang dewasa tapi tidak terjadi komunikasi. Karena keinginannya tidak dipahami, balita itu marah, lalu nangis. 

Komunikasi kerap dialamatkan sebagaI keahlian dasar yang wajib dikuasi praktisi humas atau sales. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah. 

Sejatinya, communication skill wajib dikuasai setiap orang, apapun profesinya. Bayangkan misalnya seorang guru yang komunikasinya buruk, pelajarannya tidak dipahami, nilai muridnya pasti ‘jeblok’. 

Komunikasi juga sering diartikan berbicara sebanyak mungkin. Pendapat ini mutlak salah. Semakin banhyak bicara justru semakin membingungkan dan pesan semakin kabur, apalagi jika lawan bicara juga melakukan hal yang sama yakni “banyak bicara”. 

Komunikasi tidak sama dengan berbicara

Bicara adalah kemampuan verbal menyampaikan pesan tertentu. Tapi komunikasi masih butuh syarat lain, yakni “mendengarkan” dan “empati” terhadap lawan bicara. Tidak mungkin kita bisa memahami lawan bicara atau audience jika kita tidak punya kemampuan mendengar. Kita pun tidak mungkin bisa membaca situasi jika kita tidak mampu berempati kepada lawan bicara kita. Bahkan dengan adanya empati kita bisa menyampaikan emosi kita secara tepat kepada lawan bicara. 

Komunikasi itu tidak sederhana

“The most important thing in communication is to hear what isn't being said” (Peter F. Drucker).

Tidak membalas sapaan, read pesan tapi tidak reply bukan berarti tidak sedang komunikasi. 

Komunikasi dengan menggunakan email atau chat di telepon seluler bisa jadi mempermudah komunikasi atau sebaliknya, memicu kesalahpahaman. Chat “kenapa?” kerap dimaknai jutek, padahal pemberi pesan menulis sambil tersenyum. 

Komunikasi bukan hal sederhana. Bahasa tubuh kadang lebih akurat dari kata-kata. Kemampuan menyampaikan ekspresi dan membaca tubuh (gesture) juga merupakan kunci sukses dalam berkomunikasi.

Kesalahan mendidik anak

Akar dari kesulitan komunikasi bisa dirunut jauh ke belakang. Setiap orang tua selalu membantu anaknya agar bisa berbicara. Mulai dari mengucapkan kata sederhana, merangkai kata dan akhirnya bisa menyusun kalimat. Targetnya adalah anak cakap berbicara. Bersamaan dengan itu, orang tua pun mengajarkan membaca, menulis dan berhitung (calistung). 

Jarang sekali orang tua mengajarkan anaknya untuk cakap berkomunikasi. Akibatnya, banyak orang dewasa yang kemampuan komunikasinya setara dengan anak usia 10 tahun, hanya cakap berbicara, namun tidak mampu mendengarkan dan memahami lawan bicaranya. Persis seperti anak kecil. Hanya ingin dipahami tapi tidak bisa memahami orang lain. Egosentris!

Syarat komunikasi efektif

Orang tua umumnya mengajarkan anak untuk bicara, tapi tidak mengajarkan anak untuk komunikasi secara benar. Belajar berbicara, belajar mendengarkan, belajar berempati dan mengasihi orang lain. Akibatnya, setelah dewasa, kemampuan bicaranya seperti anak usia 12 tahun, tidak mampu berempat dan mengasihi orang lain. Dua aspek itu penting agar kita bisa merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain, dan memberitahuakan apa yang kita rasakan kepada lawan bicara. Akhirnya orang tersebut tidak bisa membaca situasi, ujungnya, terjebak dalam konflik,

Nah, setelah baca uraian di atas jadi lebih jelas kan? Yuk buat suasana lebih nyaman dan produktif dengan komunikasi yang lebih sehat dan bikin kalian lebih merdeka dan bahagia sebagai manusia… 


Kamis, 19 Januari 2023

Kesambet


Istilah ini kembali viral setelah budayawan Emha Ainun Najib alias Cak Nun mengaku “kesambet” ketika menganalogikan Jokowi sebagai Firaun, Binsar Luhut Panjaitan bak Haman dan Anthony Salim bak Qorun. Tiga tokoh paling bathil dalam peradaban manusia. 

Firaun adalah Raja Mesir yang berwatak kolot dan keras, mengangkat dirinya sebagai Tuhan dan bertindak dzalim terhadap Bani Israil yang dipimpin Nabi Musa AS. Sedangkan Haman adalah seorang pembesar Firaun dan hidup sezaman dengan Nabi Musa AS. Ia bertugas membantu Firaun dalam melaksanakan segala perintahnya, seperti membuat bangunan yang tinggi. Haman adalah tangan kanan Firaun. Kemudian Qarun adalah seorang kaya raya di zaman nabi Musa, namun dikarenakan kikir dan Allah swt melaknat Qorun dengan membenamkan dirinya dan hartanya ke dalam bumi.

Pendukung Jokowi ramai-ramai counter attack mem-bully Mbah Nun. Sebaiknya, pendukung Mbah Nun membelanya. 

Saya tidak dalam posisi mengomentari subtansi tuduhan Cak Nun terhadap Jokowi, Luhut atau Anhony Salim. Toh yang bersangkutan sudah minta maaf. Yang justru menarik adalah exit strategy Cak Nun yang menyalahkan pihak ketiga (spirit). Entah setan atau malaikat, ujar Cak Nun, yang membuat lidahnya keseleo, dan ia digoblok-gobloki keluarganya.  

Menurut KBBI, kesambet/ke·sam·bet adalah sakit dan mendadak pingsan karena gangguan roh jahat (orang halus, hantu). Penggunaan kata “kesambet” digunakan Cak Nun untuk mengatakan bahwa saat itu bukan dirinya yang bicara tapi roh halus (jahat atau baik) yang memaksanya berkata buruk seperti itu. 

Di kalangan penduduk Pulau Jawa, istilah “kesambet” itu sama dengan kesurupan. Roh jahat masuk ke dalam raga seseorang, lalu mengendalikan sepenuhnya raganya orang tersebut. Orang kesambet mudah dikenali. Omongannya meracau. Gerak tubuhnya liar. Dalam kondisi “trance”  publik akan memaklumi tindakan orang tersebut dan tidak akan menuntut tanggung jawab. 

Apakah Cak Nun ingin menggunakan “kesambet” sebagai exit strategy agar terlepas dari konsekuensi hukum dan sanksi sosial?  Ini baru terjadi. Umumnya penghina Jokowi hanya berujar khilaf dan minta maaf serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi,

Batang besi rusak oleh karatnya. Banyak publik figur yang terpuruk justru oleh ucapannya sendiri. Ahok begitu piawai melawan kritik dan tanggung menangkis serangan lawannya. Tapi akhirnya jatuh oleh ucapannya sendiri. Jujur, kadang saya khawatir kepada para tokoh agama yang rajin buat konten dan mengolok-olok banyak hal dalam kehidupan sosial. Betul-betul rindu dengan keteladanan Buya Hamka. Keras memegang prinsip akidah. Tapi lembut, menyentuh dalam penyampaian pesannya. 

Betul kata Cak Nun.. “Jangan ngomong siapa, tapi apa. Yang diucapkan itu harus baik dan efeknya harus diperhitungkan”.


Diksi Itu Kontekstual

 



Pilihan kata atau diksi tidak bisa berdiri sendiri, tapi punya makna kontekstual. Lebih jauh, diksi juga punya makna historis, sosiologis dan kulturaL. Intinya, diksi tidak pernah berdiri sendiri apalagi ahistoris.

Belakangan ini ramai polemik kata “hajar” dalam persidangan kasus pembunuhan Brigadir J atau populer disebut “Kasus Sambo”. Terdakwa Ferdy Sambo beralibi tidak pernah memerintahkan “membunuh” kepada ajudannya Richard Eliezer Pudihang alias Bharada E, tapi perintahnya adalah “hajar”.

Hajar menurut Sambo dan pengacara serta saksi ahli yang dihadirkan kubu Sambo bukan berarti membunuh, tapi pukul. Rujukannya adalah KBBI.

Memahami sebuah kata tentu tidak terlalu sulit. Tapi itulah hukum, sekecil apapun peluang, pasti akan dimanfaatkan untuk lepas dari tanggung jawab hukum atau sebaliknya, menjerat orang lain.

Akal sehat seketika serasa dipasung. Apakah mungkin kata hajar bisa punya makna selain bunuh ketika didahului dengan pemberian sepucuk pistol glock-17 lengkap dengan pelurunya?

Yuk kita gunakanan ilustrasi berikut ini. Kita sedang makan siang dengan kawan kantor. Lalu salah seorang berteriak “hajar” sambil mata tertuju pada makanan di tengah meja. Hajar dalam konteks itu pastilah bermakna habiskan makanan, bukan pukul atau tembak.

Ketika Ustad Das’ad Latif bertanya kepada jamaah pengajiannya, “Gaspol atau rem-rem ini?” ini tentunya bukan soal pedal gas atau rem  mobil, tapi soal materi ceramahnya, bebas bicara atau disensor.

Diksi itu tidak bisa dicerabut dari konteks peristiwa. Pengecualian hanya diberikan kepada Cak Lontong yang pandai memutar balikan makna dari sebuah “diksi” dan kita hanya bisa “nyengir” ketika diakhir statement dia bilang “mikiiiiiir”.

Apakah Ferdy Sambo mampu menyaingi kelucuan Cak Lontong? Pengadilan memang sejak lama sudah jadi panggung lenong…. 

Selasa, 17 Januari 2023

Bermimpi Di Bidang Komunikasi


Jadi Jurnalis itu keren

Sejak SMP saya sudah memimpikan menjadi wartawan. Berita di era TVRI umumnya menyajikan berita pejabat dikelilingi wartawan. “Wuiih keren… ada Tian Bahtiar berada di antara pejabat dan bisa menjadi orang yang lebih dulu tahu tentang nasib negeri ini..,” kira-kira begitu yang ada di benak saya ketika masih remaja.

Perjalanan hidup tidak langsung masuk dunia jurnalistik, sebelumnya, selama 5 tahun lebih saya berkecimpung di dunia riset sosial dan melakukan advokasi masyarakat marjilnal perkotaan, sektor informal dan buruh.Di era inilah NGO tumbuh subur sejalan dengan makin ketatnya kehidupan politik di era Orba. Pergulatan dengan masalah ketidakadilan sosial inilah yang kemudian mewarnai kehidupan selanjutnya sebagai jurnalis. Mulai dari pilihan tema hingga angle liputan. 

Menjadi wartawan di era tahun 90’an sangatlah berbeda dengan sekarang. Kaidah jurnalistik begitu ditaati. Asosiasi profesi terasa sangat berwibawa, walaupun akhirnya ikut mendirikan Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) karena merasa tidak sejalan dengan PWI. Belakangan jumlah asosiasi wartawan terus menjamur sejalan dengan longgarnya syarat mendirikan perusahaan media. Konon ada 70 ribu media di Indonesia. 70 % adalah situs online. Saya kok jadi sedih ya dengan kualitas dan motif para pendirinya. Publik bukan jadi cerdas. Malah sebaliknya, setiap hari dijejali hoax dan fake news. 


PR Consultant, irisan lain komunikasi

Salah satu partner pihak ke-3 selama bertugas sebagai jurnalis adalah para praktisi public relation atau humas. Umumnya mereka murni berlatar belakang pendidikan kehumasan atau disiplin ilmu dan profesi yang tidak terkait dengan jurnalistik. Goal mereka hanya satu yaitu membangun reputasi positif untuk clientnya.

Baik-buruknya reputasi seseorang seringkali bergantung pada tulisan wartawan (bukan kinerja sesungguhnya). Ujung-ujungnya, praktisi PR malah seringkali meminta advice komunikasi agar citra client di mata publik menjadi positif. 

Saya melihat public relation adalah dunia baru yang menantang untuk dijelajahi. Irisan dengan jurnalistik lumayan lebar dan kuat. Kenapa tidak dicoba? 

Ketertarikan diawal ini akhirnya seperti pusaran air, menarik ke arah lebih dalam. Mulai dari menjadi partner beberapa perusahaan PR consultant hingga akhirnya mendirikan sendiri PR Agency. 

Dunia komunikasi adalah samudera. Begitu luas dan dalam. Berawal dari penanganan krisis komunikasi (crisis handling) berkembang kearah pemasaran dan promosi sejumlah produk komoditas. Beruntung saya dipertemukan dengan sejumlah professional sehingga permintaan client mulai dari crisis handling, litigation public relation hingga marketing bisa ditangani.

Menjadi jurnalis dan PR consultant adalah hobi yang dibayar. Menyenangkan bisa membantu banyak orang mencapai apa yang diinginkannya, walau ketika terjadi public pressure, bikin insomnia dan psikosomatik juga he he he….. Belakangan Tian Bahtiar juga dikenal sebagai Lord of The Rings (karena banyaknya ring yang masuk di arteri jantung) he he he…

Disanalah letak seninya. Tidak semuanya berujung happy ending. Namun semuanya berakhir setelah melalui proses yang “berdarah-darah”, dan client pun memaklumi ini sebagai force major atau “semesta berkehendak lain”.   

Seperti tengah berada ditepi telaga, lalu menatap bayangan sendiiri. Saya melihat ini sebagai sebuah perjalanan panjang. Bukan tentang apa yang dikejar, tapi meneruskan apa yang sudah dimulai. 

Mimpi selanjutnya adalah membuat kelas komunikasi, berbagi ilmu dengan siapapun yang merasa punya masalah dengan komunikasi atau ingin meningkatkan kemampuan komunikasinya atau (nah,, ini yang seru) mendiskusikan berbagai peristiwa yang lagi viral yang bisa kita bedah dari aspek komunikasi publik… contohnya debat panas persidangan Kasus Sambo soal kata “hajar”  dan banyak hal menarik lainnya.


Kenapa Depok Disebut Kota Petir?

  Depok tercatat dalam Guinness Book of World Record sebagai kota dengan petir paling ganas di dunia. Dari hasil penelitian Prof. Dr. Ir. Di...