Istilah ini kembali viral setelah budayawan Emha Ainun Najib alias Cak Nun mengaku “kesambet” ketika menganalogikan Jokowi sebagai Firaun, Binsar Luhut Panjaitan bak Haman dan Anthony Salim bak Qorun. Tiga tokoh paling bathil dalam peradaban manusia.
Firaun adalah Raja Mesir yang berwatak kolot dan keras, mengangkat dirinya sebagai Tuhan dan bertindak dzalim terhadap Bani Israil yang dipimpin Nabi Musa AS. Sedangkan Haman adalah seorang pembesar Firaun dan hidup sezaman dengan Nabi Musa AS. Ia bertugas membantu Firaun dalam melaksanakan segala perintahnya, seperti membuat bangunan yang tinggi. Haman adalah tangan kanan Firaun. Kemudian Qarun adalah seorang kaya raya di zaman nabi Musa, namun dikarenakan kikir dan Allah swt melaknat Qorun dengan membenamkan dirinya dan hartanya ke dalam bumi.
Pendukung Jokowi ramai-ramai counter attack mem-bully Mbah Nun. Sebaiknya, pendukung Mbah Nun membelanya.
Saya tidak dalam posisi mengomentari subtansi tuduhan Cak Nun terhadap Jokowi, Luhut atau Anhony Salim. Toh yang bersangkutan sudah minta maaf. Yang justru menarik adalah exit strategy Cak Nun yang menyalahkan pihak ketiga (spirit). Entah setan atau malaikat, ujar Cak Nun, yang membuat lidahnya keseleo, dan ia digoblok-gobloki keluarganya.
Menurut KBBI, kesambet/ke·sam·bet adalah sakit dan mendadak pingsan karena gangguan roh jahat (orang halus, hantu). Penggunaan kata “kesambet” digunakan Cak Nun untuk mengatakan bahwa saat itu bukan dirinya yang bicara tapi roh halus (jahat atau baik) yang memaksanya berkata buruk seperti itu.
Di kalangan penduduk Pulau Jawa, istilah “kesambet” itu sama dengan kesurupan. Roh jahat masuk ke dalam raga seseorang, lalu mengendalikan sepenuhnya raganya orang tersebut. Orang kesambet mudah dikenali. Omongannya meracau. Gerak tubuhnya liar. Dalam kondisi “trance” publik akan memaklumi tindakan orang tersebut dan tidak akan menuntut tanggung jawab.
Apakah Cak Nun ingin menggunakan “kesambet” sebagai exit strategy agar terlepas dari konsekuensi hukum dan sanksi sosial? Ini baru terjadi. Umumnya penghina Jokowi hanya berujar khilaf dan minta maaf serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi,
Batang besi rusak oleh karatnya. Banyak publik figur yang terpuruk justru oleh ucapannya sendiri. Ahok begitu piawai melawan kritik dan tanggung menangkis serangan lawannya. Tapi akhirnya jatuh oleh ucapannya sendiri. Jujur, kadang saya khawatir kepada para tokoh agama yang rajin buat konten dan mengolok-olok banyak hal dalam kehidupan sosial. Betul-betul rindu dengan keteladanan Buya Hamka. Keras memegang prinsip akidah. Tapi lembut, menyentuh dalam penyampaian pesannya.
Betul kata Cak Nun.. “Jangan ngomong siapa, tapi apa. Yang diucapkan itu harus baik dan efeknya harus diperhitungkan”.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar