Filsuf
Aristoteles membagi dunia dalam dua dikotomi, yakni alam dan “kepalsuan”. Yang
dimaksud dengan kepalsuan adalah realita hasil intervensi manusia. Di satu
sisi, intervensi ini menolong, namun di sisi lain makin menjauhkan kita dari
alam. 
Ketenangan
dan kebahagiaan menjadi sesuatu yang jauh dan mahal. Liburan harus ke mall
bahkan ke luar daerah atau luar negeri. Makin jauh dan mahal. Mengisi waktu
luang dengan berselancar di dunia maya hingga kecanduan adalah bentuk
teralienasi ekstrim yang melahirkan perasaan kesepian, bahkan putus asa.
Tidak
sulit untuk mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di alam. Cukup membiarkan
diri kita menjadi bagian dari alam tanpa berusaha menafsirkan atau memberikan
penilaian. Jalan bertelanjang kaki di rerumputan, menyusuri jalan tanah
setapak, bertelanjang kaki di pantai yang lembut dan hangat adalah cara
berkomunikasi kita dengan bumi. Coba direnungkan, sudah berapa lama kaki kita tidak
bersentuhan dengan bumi, terpenjara dalam sepatu dan sandal.
Duduk
di bawah pohon, terlentang menatap awan adalah bentuk meditasi alam yang
menentramkan. Ketenangan itu diciptakan bukan dibayar. 
Meditasi
alam efektif untuk meredakan kegalauan akibat stress berlebihan. Bukalah diri
kita agar bisa menyatu dengan alam. Inilah cara terbaik untuk recharging  jiwa dan raga. Mindful dengan udara yang
keluar masuk hidung, dengan angin yang membelai lembut, dan telapak kaki yang
menyentuh bumi. Kesadaran penuh terhadap apa yang sedang kita lakukan efektif
untuk mengatasi over thinking. Meditasi secara mindful bukan bentuk kemalasan,
malah sebaliknya, menjadikan kita jauh lebih produktif.
Intervensi
manusia terhadap alam jika tidak dilakukan secara bijak justru merusak ekosistem.
“Bencana alam” adalah hasil ketidakseimbangan relasi manusia dengan alam yang
cenderung eksploitatif. Alam akan berproses mencari harmoni dan keseimbangan,
dia akan terus berputar secara teratur (sunatullah) tanpa peduli dengan konsep
waktu manusia. 
Kita
adalah bagian dari alam semesta. Mengingkarinya atas nama teknologi dan
moderenisasi hanya melahirkan penderitaan dan keputusasaan.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar