Senin, 13 Februari 2023

Flexing, Penyakit Sosial Yang Diidolakan


Flexing alias pamer kekayaan di sosial media kini nyaris diterima sebagai “kewajaran”. Bagi saya, flexing itu “penyakit”. Ia menunjukan kapasitas bukan dengan kualitas dirinya tapi dengan barang mewah agar di cap “sukses”. Dalam kasus berbeda mirip dengan seorang exhibitionist yang mencapai kepuasan ketika dia memamerkan area genitalnya ataupun melakukan masturbasi di depan orang lain.

Sebagai penyakit sosial, flexing kini makin kronis. Seorang pesohor bahkan rela menyewa sebuah Lamborghini lalu diparkir di depan kerumunan wartawan agar dinilai sukses bergelimang harta. Padahal hidupnya susah payah. Menurut pengakuannya, terkadang ia hanya makan dua kali sehari. Itu pun hanya menyantap mie instan. 

Banyak pesohor yang memamerkan outfit dengan harga super fantastis. Satu cincinnya berharga Rp 1 milyar. Padahal dia pakai 10 cincin. Belum terhitung sepatu bernilai ratusan juta rupiah, celana, kemeja, topi dan kacamatanya. Jadi satu kali keluar rumah, ditaksir puluhan milyar rupiah yang menempel di tubuhnya.

Media menyebut dirinya “Sultan atau crazy rich”. Hidup begitu enteng bak lahir dari negeri dongeng. Fenomena ini benar-benar “toxic” bagi generasi muda. Mudah, kaya, jadi idola. Tidak perlu kerja keras. Cukup pamer di sosial media. 

Dulu, orang kaya Eropa di abad 19 pamer kekayaan dengan menyajikan garpu dan sendok perak dalam perjamuan makan para bangsawan. Kini tidak perlu susah payah. Cukup flexing di sosmed miliknya, lalu lahirlah crazy rich dengan segenap halusinasinya. 

Sekali berbohong, teruslah berbohong. Mereka tak ubahnya meminum air laut. Semakin diteguk justru makin kehausan. Akal dan budi pekerti tak lagi mampu mengontrol nafsu hedonisme. Kebahagiaan itu, padahal, terletak dari kemampuan bersyukur akan apa yang kita punya dan rejeki tak selalu berarti harta benda. Bisa juga hidup sehat atau keluarga yang harmonis. 

Tak satupun orang yang mengaku crazy rich ini masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia. Sang Sultan pun tidak memiliki perusahaan yang dikenal publik seperti group Sinar Mas atau Salim. “The real crazy rich” biasanya menunjukan kapasitas dengan pencapaian kinerja perusahaan atau group, bukan personal achievement. Jadi makin kuatlah kesimpulan saya bahwa fenomena crazy rich ini adalah penyakit sosial yang makin booming di sosial media. 

Kendati crazy rich dicaci karena kelakukan mereka menyakitkan banyak orang, faktanya akun sosmed mereka dibanjiri ribuan hingga jutaan followers. Media pun tak canggung memberi panggung. Sang crazy rich pun akhirnya jadi orang berpenyakit yang diidolakan publik.

Nah lho….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kenapa Depok Disebut Kota Petir?

  Depok tercatat dalam Guinness Book of World Record sebagai kota dengan petir paling ganas di dunia. Dari hasil penelitian Prof. Dr. Ir. Di...