Jumat, 15 Desember 2023

Tragedi Jakarta, Alarm Lemahnya Penanganan KDRT


Wakil ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Jasra Putra menilai tragedi penganiayaan yang dilakukan P terhadap isterinya D dan diteruskan dengan pembunuhan ke-4 anaknya adalah alarm lemahnya penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Ada rentang waktu yang bisa digunakan oleh polisi untuk mengamankan anak-anak, tapi tidak dilakukan oleh polisi, hingga akhirnya 4 anak-anak itu tewas dibunuh ayahnya.

Kecaman juga diutarakan oleh Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso. Dalam kasus pembunuhan di Jagakarsa ini polisi telah bertindak tidak professional dan melanggar etika.

“Begitu menerima laporan, pelaku harusnya ditahan. Ini kan tidak. Petugas harus disanksi. Propam harus turun dan periksa Apakah saat menerima laporan polisi mengeluarkan surat permintaan pemeriksaan visum et repertum ke rumah sakit? Apakah ada pemeriksaan terhadap si suami yang jadi pelaku? Jangan protektif jangan defensif. Propam harus turun untuk memeriksa prosedur penangan perkaranya,” ujar Teguh dalam talkshow JAKFORUM (14/12).

Sementara Komisioner Komnas Perempuan Maria, Maria Ulfah Anshor menegaskan bahwa umumnya perempuan ketika memutuskan melaporkan KDRT ke polisi, hampir bisa dipastikan bahwa insiden itu bukan yang pertama. Korban melapor karena sudah tidak kuat menahan sakit. Itu biasanya telah terjadi untuk kesekian kalinya.

“Saya mengingatkan Polri agar jangan membebankan pembuktian kepada pelapor. Keterangan korban dan bukti kekerasan pada tubuh sudah merupakan bukti, petugaslah yang harus melengkapi,” jelas Maria Ulfah.

Dari laporan korban ke Komnas Perempuan, banyak keluhan soal beban pembuktian yang harus dilengkapi korban. Hal ini menunjukan sikap polisi tidak memahami soal KDRT, apalagi dalam kasus pelecehan seksual. Sulit untuk menghadirkan saksi, ujar Maria Ulfah.

Dalam kasus Jagakarsa, dalam acara talkshow JAKFORUM (14/12) Maria Ulfah menilai bahwa ada persoalan cara pandang yang keliru dalam memahami dan menangani KDRT. Pertama, KDRT seringkali dilihat sebagai masalah internal rumah tangga sehingga penyelesaiannya dikembalikan ke suami-isteri atau pihak yang bertikai. “sudah babak belur kok disuruh damai. Ada lagi korban perkosaan, malah suruh menikah dengan pelakunya. Ini kan fatal,” jelas Maria.

Kedua, KDRT hanya dilihat sebagai konflik suami-isteri. Anak yang dipastikan jadi korban, justru diabaikan. Contohnya adalah kasus Jagakarsa.

IPW, Komnas Perempuan dan KPAI berharap pemerintah dapat memperhatian nasib ibu korban. Jangan sampai proses hukum yang akan diikuti korban justru menambah trauma pasca ia kehilangan 4 buah hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kenapa Depok Disebut Kota Petir?

  Depok tercatat dalam Guinness Book of World Record sebagai kota dengan petir paling ganas di dunia. Dari hasil penelitian Prof. Dr. Ir. Di...