Kasus AKBP Achiruddin Hasibuan (AH), perwira menengah Polda Sumatera Utara menjadi momentum bagi netizen untuk kembali mengibarkan hastag #noviralnojustice. Tanpa campur tangan publik di media sosial, diduga kasus ini masih tersimpan rapi dalam map penyidik.
Kasus
yang bermula dari penganiayaan yang dilakukan Aditya Hasibuan, putra AH
terhadap Ken Admiral membuka satu persatu kebobrokan AH dan keluarganya yang
bisa jadi akan berimbas kepada institusi POLRI. 
Pertama,
terkuak harta pamen Poldasu ini tidak wajar. Dari LHKPN yang dilaporkan pada
tahun 2021 AH mengaku memiliki harta kekayaan sebesar Rp 467 juta, namun nafsu
pamer hartanya di sosmed mendorong KPK memeriksa kembali LHKPN dan kepemilikan
sejumlah barang mewah seperti Jeep Rubicon dan Harley Davidson yang kerap dia
pamerkan. Hasil penyidikan sementara, moge tersebut “bodong”, alias tidak
dilengkapi dokumen resmi. Sangat tidak patut, seorang perwira menengah Polri
memiliki kendaraan mewah yang tidak dilengkapi dokumen resmi. Selain illegal,
dipastikan pula tidak membayar pajak. Duh… 
Kedua,
AH terkait dengan bisnis solar ilegal. Pengakuan sementara dia menjadi
pengawas dan mengaku mendapat imbalan sejak 2018. Pengakuan ini menjadi bukti
adanya gratifikasi dan indikasi tindak pidana pencucian uang.  
Ketiga,
keterlibatan AH dalam kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya terhadap Ken
Admiral. Selain ancaman pemidanaan, AH juga menghadapi sidang kode etik.
Melihat perilaku AH, perannya dalam kasus penganiayaan dan upaya dia merekayasa
dengan membuat video perdamaian, maka sudah sepatutnya AH mendapat sanksi
maksimal berupa Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH). Sikapnya selama proses
penyidikan menjadi indikasi bahwa orang seperti ini tidak patut dipertahankan
di Korps Bhayangkara. Polisi hadir di masyarakat untuk memberikan solusi bukan
sebaliknya. 
Keempat,
perilaku ugal-ugalan AH adalah cermin dari lemahnya pengawasan POLRI. Sangat
aneh jika Poldasu tidak mengetahui penyelewengan AH. Rumahnya sangat mentereng.
Tidak sesuai dengan penghasian seorang pamen dan terletak di tengah kota.
Gudang solar ilegalnya juga dipinggir jalan, dan sudah berulang kali
dilaporkan warga. Tidak mungkin petugas Pertamina tidak mengetahui adanya
praktik kotor ini apalagi yang dilakukan AH dalam volume besar. Dan yang tidak
kalah memprihatinkan, AH memamerkan hasil bisnis kotornya di ruang publik yang
mestinya tidak akan luput dari pantauan atasannya. 
Problem
keempat inilah yang makin membenamkan kepercayaan publik kepada institusi
POLRI. 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar