Mario
Dandy yang gemar naik Harley dan Rubicon ugal-ugalan, Jhon LBF dan sejumlah
selebritis yang mengaku sultan atau crazy rich sibuk mengaktualisasikan diri
sebagai orang sukses dengan kepemilikan barang mewah sebagai simbol kesuksesan.
Tanpa barang mewah mereka merasa nobody. Wajarkah?
Tidak
ada yang salah menjadi kaya. Tidak tercela mengaku sukses. Namun memamerkan
barang mewah ditengah banyaknya orang yang hidup subsisten sekadar bisa makan,
maka flexing jadi menikam nurani.
Saat
ini saya melihat ada redefinisi simbol sukses, dari kepemilikan barang mewah
kearah kualitas personal, seperti tubuh proporsional, badan bugar, memilih
mengonsumsi bahan makanan organik, atau filantropi, yakni menyumbangkan tenaga,
pikiran atau uang untuk kepentingan sosial. 
Mungkinkah
redefinisi ini terjadi? Sangat mungkin. Dulu badan gemuk adalah simbol
kemakmuran. Namun di negara maju, badan gemuk kini dinilai sebagai pemalas, kecanduan
junk food dan “penyakitan”. Orang
makin gemar flexing tubuh
proporsional, kulit glowing dan
bugar. 
Orang-orang
“kaya beneran” kini menunjukan kesuksesannya dengan mempresentasikan
pengembangan perusahaan, akuisisi perusahaan yang merugi lalu menata ulang
menjadi perusahaan sehat dan profit, pengembangan inovasi usaha dan teknologi. 
The
real Sultan tak lagi tertarik foto di jet pribadi, yacht, ranch, atau sport car.
Tapi filantropi di daerah terpencil bahkan sampai berdonasi ke luar negeri. 
The real crazy rich tak lagi gemar pamer cincin
berlian, tas mewah dan outfit dengan
harga mencengangkan. Mereka bangga karena menggunakan produk ramah lingkungan, recycle dan tidak menggunakan kulit
binatang, terlebih yang dilindungi. 
Orang
akan merasa sukses jika berkontribusi positif terhadap lingkungan dan mampu membagi
kebahagian kepada orang lain. 
Orang-orang
sehat pasti mampu meredifinisi simbol sukses lebih useful dan meaningful.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar