Jumat, 03 Maret 2023

Pers Makin Kehilangan Arah



Jatuhnya rezim Orde Baru menjadi fase menjamurnya industri pers nasional. Tidak ada angka pasti. Tapi  dalam catatan Dewan Pers pada tahun 2018, terdapat 70.000 lebih perusahaan pers di tanah air. 70% merupakan media online. Sisanya adalah media cetak, radio, dan televisi. Angka tersebut tentunya diluar produk jurnalistik yang digarap dalam platform sosial media (instagram, blog, facebook atau YouTube).

Fenomena tersebut tentu saja melahirkan dampak positif dan negatif. Liberalisasi perijinan, tidak diikuti dengan kontrol dan perijinan berbasis kompetensi. Perusahaan media yang baru lahir umumnya tidak ditopang kekuatan finansial. Akibatnya banyak aksi premanisme berupa pemerasan, pencemaran nama baik yang dilakukan oleh oknum yang mengaku wartawan dan berlindung dibalik kebebasan pers.

Oknum tidak bertanggung jawab itu tak patut disebut wartawan. Jangankan memahami kode etik jurnalistik, menulis berita dengan kaidah penulisan yang benar pun tidak bisa. Ketika tidak ada organisasi profesi wartawan yang mau mengakui, mereka tidak kehabisan akal. Mereka pun menderikan asosiasi jurnalis sendiri, lengkap dengan AD/ ART dan kode etik sendiri. Masa bodo tidak diakui dewan pers. Ampun deh…

Persaingan ketat di Industri media dan disrupsi digital, menjadikan idealisme makin tergerus. Sebagian terjebak pada pragmatisme, bagaimana bisa hidup dan survive, syukur-syukur bisa menangguk untung. Munculah fenomena click bait, yakni strategi meningkatkan click viewers dengan cara membuat judul bombastis dan sensasional. Terkadang judul tidak terkait dengan isi. Pembaca protes? Abaikan saja. Yang penting sudah masuk ke tulisan. Makin banyak pengunjung, maka makin besar cuan didapat.

Ciri-ciri tulisan atau konten yang menggunakan click bait antara lain over promising dan under delivery. Sejumlah jurnalis mengaku prihatin dan menyebutnya sebagai kematian jurnalisme.

Click bait sebetulnya bukan fenomena baru. Di era tahun 1980’an muncul yellow journalism. Pelopornya adalah Koran Pos Kota, lampu Merah dan sejumlah media yang menjual isu kriminalitas dan seks secara bombastis bahkan cenderung vulgar. Judul berita besar dan mengabaikan kaidah penulisan. Strategi itu efektif mendulang tiras dan iklan. Kejayaannya meredup ketika terjadi disrupsi digital.

Ironisnya, meskipun banyak dikecam, sejumlah media besar juga tak jarang menggunakan click bait sebagai strategi meningkatkan jumlah pembaca. Sekelas CNN pun pernah menggunakan click bait. Ada juga media besar yang mendirikan unit usaha  media yang sepenuhnya menggunakan strategi click bait. Strategi tersebut terbukti ampuh, bahkan mampu menyingkirkan detik.com dari segi jumlah pembaca.

Click bait jadi keniscayaan bisnis. Public fugure saling maki di televisi dianggap reality show. Duuh.. pers makin kehilangan arah…

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kenapa Depok Disebut Kota Petir?

  Depok tercatat dalam Guinness Book of World Record sebagai kota dengan petir paling ganas di dunia. Dari hasil penelitian Prof. Dr. Ir. Di...