Jatuhnya rezim Orde Baru menjadi fase menjamurnya industri pers nasional. Tidak ada angka pasti. Tapi dalam catatan Dewan Pers pada tahun 2018, terdapat 70.000 lebih perusahaan pers di tanah air. 70% merupakan media online. Sisanya adalah media cetak, radio, dan televisi. Angka tersebut tentunya diluar produk jurnalistik yang digarap dalam platform sosial media (instagram, blog, facebook atau YouTube).
Fenomena
tersebut tentu saja melahirkan dampak positif dan negatif. Liberalisasi
perijinan, tidak diikuti dengan kontrol dan perijinan berbasis kompetensi.
Perusahaan media yang baru lahir umumnya tidak ditopang kekuatan finansial.
Akibatnya banyak aksi premanisme berupa pemerasan, pencemaran nama baik yang dilakukan
oleh oknum yang mengaku wartawan dan berlindung dibalik kebebasan pers. 
Oknum
tidak bertanggung jawab itu tak patut disebut wartawan. Jangankan memahami kode
etik jurnalistik, menulis berita dengan kaidah penulisan yang benar pun tidak
bisa. Ketika tidak ada organisasi profesi wartawan yang mau mengakui, mereka tidak
kehabisan akal. Mereka pun menderikan asosiasi jurnalis sendiri, lengkap dengan
AD/ ART dan kode etik sendiri. Masa bodo
tidak diakui dewan pers. Ampun deh…
Persaingan
ketat di Industri media dan disrupsi digital, menjadikan idealisme makin tergerus.
Sebagian terjebak pada pragmatisme, bagaimana bisa hidup dan survive, syukur-syukur bisa menangguk
untung. Munculah fenomena click bait, yakni
strategi meningkatkan click viewers
dengan cara membuat judul bombastis dan sensasional. Terkadang judul tidak
terkait dengan isi. Pembaca protes? Abaikan saja. Yang penting sudah masuk ke
tulisan. Makin banyak pengunjung, maka makin besar cuan didapat. 
Ciri-ciri
tulisan atau konten yang menggunakan click
bait antara lain over promising
dan under delivery. Sejumlah jurnalis
mengaku prihatin dan menyebutnya sebagai kematian jurnalisme. 
Click bait sebetulnya bukan fenomena baru. Di era
tahun 1980’an muncul yellow journalism. Pelopornya
adalah Koran Pos Kota, lampu Merah dan sejumlah media yang menjual isu
kriminalitas dan seks secara bombastis bahkan cenderung vulgar. Judul berita
besar dan mengabaikan kaidah penulisan. Strategi itu efektif mendulang tiras
dan iklan. Kejayaannya meredup ketika terjadi disrupsi digital.
Ironisnya,
meskipun banyak dikecam, sejumlah media besar juga tak jarang menggunakan click bait sebagai strategi meningkatkan
jumlah pembaca. Sekelas CNN pun pernah menggunakan click bait. Ada juga media besar yang mendirikan unit usaha  media yang sepenuhnya menggunakan strategi click bait. Strategi tersebut terbukti
ampuh, bahkan mampu menyingkirkan detik.com dari segi jumlah pembaca.
Click bait jadi keniscayaan bisnis. Public fugure saling maki di televisi
dianggap reality show. Duuh.. pers
makin kehilangan arah…

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar