Rabu, 08 Maret 2023

Ring atau By Pass?



Sejak dokter mendiagnosis saya mengalami penyempitan pembuluh arteri jantung, jujur saya bingung dengan metode pengobatannya. Saya berkenalan dengan orang yang dipasang ring hingga 7. Terus-menerus bertambah. Ring ternyata bukan solusi permanen.

“Kenapa demikian dok?” Tanya saya.

“Ring itu kan ada kelasnya. Ada yang tanpa obat, yang dipakai BPJS, biasanya produk Tiongkok. Ada yang pakai obat, lebih mahal, buatan Jerman atau Amerika, bagus dan lebih tahan lama,” jelas dokter.

Ketika saya mengalami serangan jantung, pada tahun 2006, akhirnya pada tahun 2011 saya dipasang ring. Langsung 3 ring, tapi dipasang bertahap. Produksi Tiongkok, dicover asuransi BPJS. Tubuh mendadak fit. Bisa kembali lari bahkan naik gunung. Sayangnya hanya bertahan 2 tahun. Kembali tersumbat di tempat yang sama. Saya kembali pasang ring, pakai fasilitas BPJS. You know what? Dokternya mengaku salah pasang karena alatnya tidak bisa membaca sumbatan pembuluh dengan jelas. Jujur saya terpukul sambil memandangi tangan yang masih lebam usai lakukan katerisasi.

Dengan bantuan seorang teman, akhirnya saya memutuskan untuk berobat ke sebuah rumah sakit swasta yang terkenal karena ditangani dua orang professor spesialis jantung. Kembali dilakukan katerisasi. Di meja operasi beliau meyakinkan produknya berkualitas karena buatan Jerman, “jauh lebih baik dari produk Tiongkok yang sudah bapak pakai,” jelasnya sangat meyakinkan.

Durasi produk Jerman itu tak sampai 1 tahun kembali tersumbat. Saya pun kembali pasang kateter dengan dokter yang sama dengan produk yang sama. “Anda tidak disiplin makan sih. Akibatnya timbul plaque, dan arteri kembali tersumbat,” ujarnya menyalahkan saya.

Sebagai orang awam, saya menerima penjelasan itu. Saya merasa sudah hidup sehat, Saya akui, sesekali saya masih cheating, berhenti merokok dan begadang. Olah raga sesekali. Jauh lebih baik ketimbang kawan-kawan saya yang masih makan “jorok”, merokok bagai kereta api uap, konsumsi alkohol dan tidur larut malam. Sayangnya durasi kesembuhan pun kurang dari dua tahun. Pembuluh arteri saya kembali mampet, nafas sesak dan aktivitas tergantu.

Saya pun ganti dokter sekaligus ganti rumah sakit. Umumnya setiap dokter pasti memuji produknya sekaligus mengkritik produk yang sudah saya pasang. Sepintas mirip pedagang elektronik di Pasar Glodok.

Posisi pasien memang tidak equal. Hubungan pasien dengan dokter didasari asas kepercayaan. Berbeda dengan pengacara dan kliennya, yang berlaku asas ketidakpercayaan. Kita percaya sepenuhnya terhadap diagnosa dan advis dokter, walaupun belakangan kita merasa dokter tersebut salah diagnosa bahkan kurang tepat dalam meresepkan obat.

Saya akhirnya menempuh by pass karena pasang stent atau ring dalam jumlah banyak makin tidak wajar. Lama-lama bisa jadi lord of the rings.  He he he…. 

Mental Tempe



Mental tempe adalah ungkapan merendahkan yang popular di era Orla dan Orba. Adalah Bung Karno yang pertama kali menggunakan istilah “mental tempe” sebagai ungkapan cemooh terhadap orang yang tidak punya semangat juang, loyo, lemah dan nrimo.

Sang proklamator menggunakan tempe sebagai analogi yang pas untuk membakar semangat rakyatnya, khususnya pemuda. Tempe identik dengan makanan murah kaum miskin. Tidak ada maksud merendahkan tempe sebagai “super food” yang memiliki kandungan protein nabati tinggi.

Ungkapan itu, kini tak relevan lagi. Tempe tak lagi hanya dikonsumsi kaum miskin, namun makanan favorit semua kalangan.

Dari penelusuran sejarah, ternyata tempe merupakan warisan nenek moyang Indonesia. Tempe pertama kali tercatat muncul pada tahun 1600-an di Tembayat, Klaten, Jawa Tengah. Karena itu, tempe menjadi populer khususnya di Pulau Jawa.

Tempe tercatat di Serat Centhini sebagai bahan makanan yang digunakan untuk membuat sambal tumpang. Jenis sambal ini pun tercatat menjadi sajian berbahan dasar tempe tertua sepanjang sejarah.

Serat Centhini adalah karya sastra 12 jilid di kesusastraan Jawa Baru di tahun 1814. Karya ini berisi kisah-kisah Jawa beserta ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa agar tidak punah. Penulisannya berdasar pada masa pemerintahan Sultan Mataram di tahun 1600-an.

Tempe sebetulnya tidak cuma dibuat dari fermentasi kacang kedelai, tetapi juga fermentasi kacang-kacangan lain, biji, hingga dedaunan. Karena itu, dikenal banyak varian tempe di Indonesia. Misalnya tempe kacang hijau, tempe kacang merah, tempe kacang koro pedang, tempe biji kecipir, tempe kacang tanah, tempe lamtoro tempe biji karet, tempe kacang gude, tempe ampas kelapa, hingga tempe daun singkong.

Awalnya, tempe dibungkus daun waru, daun jati, dan daun jambu biji. Kini, umumnya dibungkus daun pisang dan plastik.

Kandungan gizi tempe yang paling banyak adalah protein. Dari banyaknya kandungan protein pada tempe banyak orang yang mengonsumsinya untuk memenuhi kebutuhan protein nabati untuk tubuh. Tempe ini disebut makanan sumber protein nabati. Cocok dimakan untuk menggantikan daging.

Makanan khas Indonesia itu telah didaftarkan Kemenkraf sebagai warisan budaya tak benda UNESCO pada 2021 lalu.

Penggunaan ungkapan “mental tempe” kini tak relevan lagi untuk membakar semangat kaum muda. Perlu dicari ungkapan baru. Ada ide?

Konten Receh



Istilah konten receh booming di era tahun 2000-an. Sebutan itu merujuk pada konten ringan, obrolan sehari-hari, tapi digandrungi publik. Lawannya adalah konten serius, substansial dan mendalam.

Awalnya konten receh popular di kalangan content creator sosial media (youtuber, vloger, dan lain-lain). Mereka adalah netizen yang awalnya konsumen informasi, kemudian berubah menjadi produsen informasi (gate keeper). Mereka adalah antitesa dari media mainstream.

Masifnya serbuan konten sosmed membuat konten jurnalistik “keteteran.” Istilah lain adalah disrupsi digital. Flexibilitas sosmed dibandingkan media mainstream membuat info yang diproduksi lebih masif, cepat, dan viral dibandingkan media mainstream yang terikat kaidah penulisan dan kode etik.

Mestinya kedua jenis media ini tumbuh di ekosistem masing-masing. Tapi faktanya, sejumlah awak media mainstream berpikir pragmatis, ikut-ikutan memproduksi konten receh. Kasus-kasus berat pun hanya diambil sisi dramatis dengan model penggarapan infotainment.. semuanya demi viewers atau subscriber.

Lihat saja, media lebih bernafsu memberitakan tuduhan Firaun yang dilontarkan Cak Nun kepada Presiden Jokowi  dibandingkan mendiskusikan sistem pemilihan proporsional terbuka atau tertutup.  Media lebih berminat untuk memberitakan kemarahan Rosario De Marshall alias Hercules  kepada wartawan dibandingkan kasus yang membuat Hercules diperiksa KPK yakni, dugaan adanya aliran uang dari tersangka Heryanto Tanaka yang diberikan ke tersangka Hakim MA, Sudrajad Dimyati.

Inilah momentum produk berita sensasional lebih digandrungi dibandingkan pemberitaan kelangkaan pasokan beras sehingga terpaksa harus impor dari Vietnam atau sengkarut tambang nasional yang tak pernah usai.

Netizen dan pejabat republik ini memang lagi mabuk konten receh ketika bangsa lain sudah bicara rekayasa genetik pada teknologi pertanian dan memaksimalnya penggunaan energi terbarukan pada industri dan moda transportasi.

Kondisi pers saat ini kok ya sama dengan selera politisi bangsa ini… gemar berdebat isu receh dibandingkan hal fundamental.

 

Kuasa Melahirkan Arogansi


Seorang ASN/ PNS pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran Lampung menganiaya seoarang pedagang martabak hanya karena tidak terima ketika disuruh menggeser mobilnya yang menghalangi gerobak martabak. Dari rekaman CCTV, pedagang tersebut ditampar sebanyak dua kali lalu diseruduk kepalanya hingga memar Senin (30/1/2023)

Entah bagaimana nasib pedagang martabak itu jika tidak dilindungi warga. Oknum PNS itu bahkan berusaha menyerang lagi sambil menggenggam sebuah tongkat.

Relasi seorang ASN dengan pedagang kaki lima penjual martabak adalah relasi tidak seimbang. Seragam itu bak dua sisi mata uang. Bisa menjadi rem karena wajib menjaga martabat instansi atau sebaliknya, arogan, apalagi yang dihadapi kaum miskin papa.

Berita oknum polisi atau tentara arogan bahkan hingga menganiaya warga sipil juga contoh lain dari kepongahan karena merasa memiliki kuasa lebih akibat status yang dimilikinya. Banyak pihak yang mendesak agar tes masuk dan sistem pendidikan TNI/ Polri dievaluasi. TNI/ Polri itu mengayomi rakyat, bukan menganiaya rakyat.

Jika bukan karena seorang Jenderal bintang dua dan Kadiv Propam, tak mungkin seorang Ferdy Sambo membunuh atau memerintahkan untuk membunuh ajudannya sendiri, Nofriansyah Yosua Hutabarat. Kuasa tanpa kontrol melahirkan arogansi.  Jika bukan karena pangkat dan jabatannya,  mana mungkin dia bisa memerintah sejumlah anggota Polri untuk melakukan obstruction of justice.

Patutlah seorang berseragam dan berpangkat tinggi pada akhirnya menjadi arogan. Jangankan tanggung jawab sosial, resiko hukum pun bisa mereka siasati.

Pemberitaan kekerasan yang dilakukan oknum ASN di Lampung buat saya adalah kekerasan kultural dan struktural. Arogansi yang telah berurat-berakar dalam masyarakat kita.

Perilaku pongah dan ugal-ugalan oknum ASN itu perlu ditertibkan dan dibina oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran Lampung atau yang lebih tinggi. Sumpah ASN berlaku bukan hanya saat dia dilantik dari CPNS menjadi PNS/ ASN. Tanggung jawab menjaga martabat institusi melekat selama ia masih menjabat sebagai ASN.

Orang berpacu untuk mendapat pangkat dan jabatan tinggi untuk mendapat hak dan kemuliaan hidup tapi mengelak untuk menjalankan tanggung jawab dan kewajibannya…

 

Sop Ikan Batam, hau ce




Salah satu kuliner andalan Pulau Batam Kepulauan Riau adalah sop ikan. Yang paling terkenal adalah Sop ikan Batam Yongki. Namun kini untuk mencicipi kelezatan sup ikan Batam tak perlu jauh-jauh ke Batam. Di sejumlah kota di Indonesia sudah banyak membuka Cabang, antara lain di Ruko Inkopal, Komplek, Jl. Boulevard Barat Raya, Klp. Gading, Jakarta Utara.

Menurut pelayanannya, sop ikan Batam di Kelapa Gading ini cabang dari Sup Ikan Batam Yongki. Cuma menunya memang tidak selengkap yang disajikan di Batam. Tapi soal rasa sih hampir sama.

Nah kali ini saya dan keluarga memesan sop ikan tenggiri kuah bening, ikan kue bumbu asam manis, sayur kailan hydropinik, dan goreng ayam. Sedangkan minuman khasnya adalah air mata kucing, yakni sari buah kelengkeng yang dicampur gula aren. Minuman ini banyak dijual di Batam. Disebut air mata kucing karena buah lengkeng atau longan mirip mata kucing. Konon minuman ini berasal dari Malaysia. Disajikan dingin. Rasanya cukup aneh dilidah. Tapi makanan itu kan experience. Coba dulu baru komen.

Sop ikan Batam rasanya beda dengan sop ikan lainnya. Tasty dan cenderung asin. Umumnya yang digunakan adalah ikan kakap merah atau tenggiri yang masih fresh. Dicampur sawi asin, potongan tomat hijau, bawang goreng dan daun selada. Nikmat luar biasa. Apalagi disantap siang hari. Cita rasa kuliner Tionghoa sangat kuat. Ditambah dengan kecap asin dan potongan cabe rawit hijau. Wuuiii… Makin segar dan dijamin semakin lahap.

Nah, menu ikan goreng asam manisnya juga gak kalah nikmat. Ada potongan nenas dan tomat hijau. Pilihan ikannya bisa ikan laut atau ikan air tawar. Sulit menjelaskan rasanya. Selain gurih juga “rame”. Sesuai namanya, ada rasa asam yang nempel di lidah dan rasa manis.

Sop ikan Batam memang legendaris dan hau ce alias enak ….


Sego, Sangu, dan Sagu…


Tahukah anda
bahwa beras yang kerap harga dan stoknya bikin gaduh, ternyata bukan makanan asli nenek moyang bangsa Indonesia. Berdasarkan pahatan relief pada Candi Borobudur, Prof. Nadirman Haska menyimpulkan bahwa sagu adalah makanan pokok nenek moyang Indonesia. Beras dibawa masuk ke Nusantara bersamaan oleh orang India bersamaan dengan masuknya agama Hindu.

Beras yang setelah diolah disebut nasi oleh masyarakat Jawa disebut sego. Sedangkan masyarakat Sunda menyebutnya sangu. Sego dan sangu dalam bahasa sesungguhnya adalah sagu(https://finance.detik.com/industri/d-3108281/bukan-beras-ini-makanan-asli-ri-sejak-zaman-kerajaan).

Indonesia memiiki lahan sagu cukup luas, 1.4 juta hektar. Tersebar di Sumatera, Kalimantan, Maluku hingga Papua. Baru 5% yang dimanfaatkan. 95% tumbuh alami.

Sagu dapat dimanfaatkan sebagai bahan kebutuhan pokok alternatif pengganti beras. Di dalam sagu terdapat karbohidrat dalam jumlah yang cukup banyak. Selain itu, sagu mengandung protein, vitamin, dan mineral, meski jumlahnya tidak banyak. Terdapat 94 gram karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5 gram serat, 10 mg kalsium, dan 1,2 mg zat besi dalam 100 gram sagu kering.

Sagu tak hanya diolah menjadi bubur papeda saja. Kini sudah ada yang mengolah menjadi mpek-mpek, siomay, ongol-ongol, dan beragam kuliner lezat bergizi lainnya.

Sayangnya makanan nenek moyang Indonesia tersebut kian hari kian terpinggirkan. Kebijakan pangan nasional yang memprioritaskan beras menjadikan sagu menjadi makanan “kelas 2”, Orang Indonesia Timur pun mayoritas kini mengonsumsi beras.

Ketahanan pangan pun identik dengan swasebada beras yang terus kisruh gara-gara ulah mafia pangan yang semakin sulit ditangani.

Alih fungsi lahan dari hutan sagu menjadi lahan tanaman padi di sejumlah wilayah juga mengakibatkan deforestasi yakni situasi hilangnya tutupan lahan dan atribut-atributnya yang berimplikasi pada hilangnya struktur dan fungsi hutan itu sendiri. Belum lagi pembabatan tanaman sagu untuk kepentingan perluasan lahan sawit.

Potensi sagu di Indonesia luar biasa. Jika dimanfaatkan, maka bisa mengatasi masalah ketahanan pangan nasional. Sekitar 50% potensi sagu dunia ada di Indonesia. Sekitar 90% potensi sagu Indonesia berada di Papua.

Pemanfaatan potensi sagu yang begitu besar di Indonesia akan menguntungkan secara ekonomis, budaya, lingkungan, dan politik. Mengonsumsi sagu, berarti melestarikan makanan nenek moyang kita. Butuh political will yang kuat dari pemerintah untuk menjadikan sagu sebagai makanan utama pengganti beras.

Kendati lahan lagu terbesar ada di Papua, namun popularitas sagu terkenal hingga seluruh pelosok nusantara. Di Minang, ada makanan khas yakni lompong sagu, makanan tradisional yang terbuat dari tepung sagu dan beberapa bahan lainnya yang kemudian dibakar setelah dibungkus dengan daun pisang.

Lompong sagu lompong sagu bagulo lawang

Di tangah tangah di tangah tangah karambia mudo

Sadang katuju sadang katuju dirabuik urang

Awak juo awak juo malapeh hawo

Alam Semesta Adalah Puisi


Gemerisik dedaunan ditiup angin, riak permukaan air, gemericik air sungai dan debur ombak adalah puisi terindah. Siapapun yang berada dan menyatu di dalamnya akan hanyut dalam ketenangan mendalam. Sebaliknya, ketika kita menjauh dari alam, hanya akan melahirkan perasaan terasing atau teralienasi.

Filsuf Aristoteles membagi dunia dalam dua dikotomi, yakni alam dan “kepalsuan”. Yang dimaksud dengan kepalsuan adalah realita hasil intervensi manusia. Di satu sisi, intervensi ini menolong, namun di sisi lain makin menjauhkan kita dari alam.

Ketenangan dan kebahagiaan menjadi sesuatu yang jauh dan mahal. Liburan harus ke mall bahkan ke luar daerah atau luar negeri. Makin jauh dan mahal. Mengisi waktu luang dengan berselancar di dunia maya hingga kecanduan adalah bentuk teralienasi ekstrim yang melahirkan perasaan kesepian, bahkan putus asa.

Tidak sulit untuk mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di alam. Cukup membiarkan diri kita menjadi bagian dari alam tanpa berusaha menafsirkan atau memberikan penilaian. Jalan bertelanjang kaki di rerumputan, menyusuri jalan tanah setapak, bertelanjang kaki di pantai yang lembut dan hangat adalah cara berkomunikasi kita dengan bumi. Coba direnungkan, sudah berapa lama kaki kita tidak bersentuhan dengan bumi, terpenjara dalam sepatu dan sandal.

Duduk di bawah pohon, terlentang menatap awan adalah bentuk meditasi alam yang menentramkan. Ketenangan itu diciptakan bukan dibayar.

Meditasi alam efektif untuk meredakan kegalauan akibat stress berlebihan. Bukalah diri kita agar bisa menyatu dengan alam. Inilah cara terbaik untuk recharging  jiwa dan raga. Mindful dengan udara yang keluar masuk hidung, dengan angin yang membelai lembut, dan telapak kaki yang menyentuh bumi. Kesadaran penuh terhadap apa yang sedang kita lakukan efektif untuk mengatasi over thinking. Meditasi secara mindful bukan bentuk kemalasan, malah sebaliknya, menjadikan kita jauh lebih produktif.

Intervensi manusia terhadap alam jika tidak dilakukan secara bijak justru merusak ekosistem. “Bencana alam” adalah hasil ketidakseimbangan relasi manusia dengan alam yang cenderung eksploitatif. Alam akan berproses mencari harmoni dan keseimbangan, dia akan terus berputar secara teratur (sunatullah) tanpa peduli dengan konsep waktu manusia.

Kita adalah bagian dari alam semesta. Mengingkarinya atas nama teknologi dan moderenisasi hanya melahirkan penderitaan dan keputusasaan.

Kisah Dua Serigala. Siapa Yang Menang?


Kisah “Dua Serigala” ini pertama kali saya ketahui dari buku Calm, karya Michael Acton Smith. Kemudian dari Ridwan Kamil saat talkshow dengan Merry Riana. Untuk yang belum mengetahuinya, ada baiknya saya sampaikan ulang kisah ini.

Dua Serigala. Pepatah suku Indian Cherokee.

Seorang Cherokee tua berkata kepada cucunya: Nak, ada dua serigala yang bertarung dalam pikiran kita semua.

Yang satu buruk. Penuh kemarahan, rasa iri, kecemburuan, kesedihan, penyesalan, kerakusan, arogansi, rasa mengasihani diri, perasaan bersalah, kebencian, perasaan inferior, kebohongan, kesombongan, superioritas, dan ego.

Yang satu lagi baik. Penuh dengan kebahagiaan, kedamaian, cinta, harapan, ketenangan, kerendahan hati, kebaikan hati, welas asih, kemurahan hati, empati, dan kebenaran.

Sang cucu merenungkannya sejenak, kemduaia bertanya kepada sang kakek. “Serigala mana yang menang?”

Sang Cherokee tua menjawab… “Yang kau beri makan”.

Dari kisah itu kita dapat memetik pelajaran bahwa dalam diri kita terdapat “serigala hitam” (jahat)  dan “serigala putih” (baik). Kedua sifat itu saling tarik-menarik. Mana yang lebih dominan? Tergantung diri kita. Apakah kita lebih banyak memberi “panggung” dan peluang kepada “serigala hitam” atau sebaliknya, memberi jalan lapang kepada “serigala putih” sehingga tabiat yang dominan adalah kebaikan.

Hidup sederhana, merasa cukup dan bersyukur atas rejeki yang dianugerahkan Tuhan, menghindari budaya flexing alias pamer adalah makanan bagi “serigala putih”. Sebalikya, hedonism, rakus, konsumtif adalah ransum terbaik bagi “serigala hitam”.

Memberi makan “serigala putih” pada kehidupan yang konsumtif seperti sekarang ini bukan perkara mudah. Itulah penyebab banyak penegak hukum yang terjerumus jadi mafia peradilan, itulah penyebab kenapa banyak pejabat publik berakhir dijeruji besi karena tertangkap melakukan korupsi. Cuma pejabat golongan 3 di Ditjen Pajak, tapi LHKPN-nya Rp 56 Milyar dan mampu melakukan transaksi keuangan pada 40 rekening senilai Rp 500 Milyar. Fantastis dan pasti tidak wajar.

Percaya tidak. Penjara umumnya dihuni “mantan orang baik”. Mantan polisi, jaksa, hakim agung, hingga ustad atau pendeta.

Lolongan serigala hitam memang mampu menyesatkan tuannya….

Merantau


Merantau adalah proses pendewasaan diri yang sangat baik. Itu saya rasakan ketika memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman di Tasikmalaya untuk kuliah di Jakarta. Hidup jadi lebih mandiri, harus survive, dan mampu mengatur keuangan agar cukup untuk hidup satu bulan, sukur-sukur ada sisa untuk sekadar nonton atau hang out dengan kawan-kawan kuliah.

Itulah kenapa anak rantau punya kemampuan survive cukup kuat. Targetnya bukan sekadar bisa makan, tapi menggantang mimpi hidup sukses dan bisa dibuktikan saat mudik kelak. Boleh jadi pedagang warteg di Jakarta tampil sederhana, namun di kampungnya punya rumah mentereng, sawah luas dan mobil mewah.

Merantau adalah cara terbaik untuk mengikis primordialisme yang sempit. Hidup di perantauan perlu kemampuan beradaptasi dan bersosialisasi dengan kultur dan ras berbeda. Kemampuan ini menumbuhkan sikap pluralisme dan lebih merasa Indonesia.

Jauh lebih baik jika punya kemampuan finansial atau dapat bea siswa sehingga dapat kuliah atau kerja di luar negeri. Biaya mahal seringkali setimpal dengan hasilnya. Tentu saja jika kuliahnya bersungguh-sungguh.

Secara akademik, kualitas perguruan tinggi di Indonesia banyak yang setara dengan perguruan tinggi di luar negeri. Namun  yang berbeda adalah lahirnya kemandirian. Jauh dari keluarga, akan membuat mahasiswa tersebut lebih kreatif dan tangguh. Kebiasaan positif tersebut terbawa saat pulang ke tanah air dan memasuki dunia kerja.

Sebagai “Orang Sunda” saya tetap menikmati tutug oncom tapi juga penyuka ubi tumbuk khas Medan dan ayam woku balanga khas Manado. Merantau jadi lebih color full dan menikmati keragaman budaya.

Pepatah Minang mengatakan:

 

Karatau madang di hulu

Babuah babungo balun.

Marantau Bujang dahulu

Di rumah baguno balun

 

Pemuda-pemudi Minangkabau disarankan untuk merantau karena mereka dianggap masih belum bisa memberi manfaat besar di kampung halaman mereka. Budaya merantau bukan berarti mengusir mereka dari tanah kelahirannya, namun bertujuan untuk memperluas pengetahuan seseorang dengan cara bepergian ke tempat lain dan diharapkan dengan bepergian tersebut, ia dapat mengambil pelajaran baik.

Selasa, 07 Maret 2023

Fenomena Feel Koplo



Dangdut adalah genre musik dan koplo adalah sub genre musik dangdut. Lalu Feel Koplo? Ini adalah duo disjoki, Maulfi Ikhsan dan Tendi Ahmad yang dibentuk pada tahun 2018. Mereka meracik apik beragam genre lagu dan dekade ke dalam musik dangdut koplo remix. Bukan sembarang remix, tapi music yang enak didengar dan digoyang.

Feel Koplo menyebut dirinya “dangdut-elektronik”. Racikan musik mereka memang nyeleneh. Seperti namanya sendiri yang merupakan plesetan dari pil koplo, narkoba jenis psikotropika yang digunakan medis untuk mengobati anjing gila.

Penggemar feel koplo berbeda dengan penggemar lagu dangdut atau koplo. Komunitas Feel Koplo adalah milenial penyuka berbagai genre musik, yang euforianya meledak ketika diramu dalam musik dangdut koplo.

Audience Feel Koplo adalah rebel group yang puas ketika duo Maulfi dan Tendi mampu mendobrak sekat genre dan stigma kelas sosial. Mereka bisa menikmati alunan gendang tanpa merasa mendapat stigma kampungan, atau norak.

Raja dangdut Rhoma Irama boleh saja melarang karyanya dicover dalam musik koplo karena dianggap merusak, tidak elegan dan membuat dangdut menjadi tidak berkelas. Belum lagi biduannya kerap bergoyang erotis dan berpakaian “kurang bahan”.

Musik adalah konvensi sosial, dan anak muda adalah agen transformasi budaya paling efektif, sebagaimana berhasil dilakukan di Barat melalui musik hip-hip, RnB, SKA, maupun reagea.

Koplo kerap disebut musik Pantura. Dirintis kelompok musik pangung Jawa Timur dan dipopulerkan melalui VCD bajakan. Sub genre ini kini bukan hanya disukai di Jawa Timur, Yogyakarta dan Jawa Tegah saja. Namun hampir seluruh pelosok Nusantara menyukainya.

Kehidupan makin penat dan keras. Orang butuh pelepasan melalui konten musik yang “easy listening,” ritmik dan memantik ceria. Feel Koplo adalah jawabannya.

Publik tidak keberatan. Bahkan pemusik aslinya pun bukan hanya mengijinkan, malah perform bareng dengan Feel Koplo. The Walters bahkan memuji habis ketika lagu I love you so di bawakan Feel Koplo.

Feel Free aja….

Jumat, 03 Maret 2023

Pers Makin Kehilangan Arah



Jatuhnya rezim Orde Baru menjadi fase menjamurnya industri pers nasional. Tidak ada angka pasti. Tapi  dalam catatan Dewan Pers pada tahun 2018, terdapat 70.000 lebih perusahaan pers di tanah air. 70% merupakan media online. Sisanya adalah media cetak, radio, dan televisi. Angka tersebut tentunya diluar produk jurnalistik yang digarap dalam platform sosial media (instagram, blog, facebook atau YouTube).

Fenomena tersebut tentu saja melahirkan dampak positif dan negatif. Liberalisasi perijinan, tidak diikuti dengan kontrol dan perijinan berbasis kompetensi. Perusahaan media yang baru lahir umumnya tidak ditopang kekuatan finansial. Akibatnya banyak aksi premanisme berupa pemerasan, pencemaran nama baik yang dilakukan oleh oknum yang mengaku wartawan dan berlindung dibalik kebebasan pers.

Oknum tidak bertanggung jawab itu tak patut disebut wartawan. Jangankan memahami kode etik jurnalistik, menulis berita dengan kaidah penulisan yang benar pun tidak bisa. Ketika tidak ada organisasi profesi wartawan yang mau mengakui, mereka tidak kehabisan akal. Mereka pun menderikan asosiasi jurnalis sendiri, lengkap dengan AD/ ART dan kode etik sendiri. Masa bodo tidak diakui dewan pers. Ampun deh…

Persaingan ketat di Industri media dan disrupsi digital, menjadikan idealisme makin tergerus. Sebagian terjebak pada pragmatisme, bagaimana bisa hidup dan survive, syukur-syukur bisa menangguk untung. Munculah fenomena click bait, yakni strategi meningkatkan click viewers dengan cara membuat judul bombastis dan sensasional. Terkadang judul tidak terkait dengan isi. Pembaca protes? Abaikan saja. Yang penting sudah masuk ke tulisan. Makin banyak pengunjung, maka makin besar cuan didapat.

Ciri-ciri tulisan atau konten yang menggunakan click bait antara lain over promising dan under delivery. Sejumlah jurnalis mengaku prihatin dan menyebutnya sebagai kematian jurnalisme.

Click bait sebetulnya bukan fenomena baru. Di era tahun 1980’an muncul yellow journalism. Pelopornya adalah Koran Pos Kota, lampu Merah dan sejumlah media yang menjual isu kriminalitas dan seks secara bombastis bahkan cenderung vulgar. Judul berita besar dan mengabaikan kaidah penulisan. Strategi itu efektif mendulang tiras dan iklan. Kejayaannya meredup ketika terjadi disrupsi digital.

Ironisnya, meskipun banyak dikecam, sejumlah media besar juga tak jarang menggunakan click bait sebagai strategi meningkatkan jumlah pembaca. Sekelas CNN pun pernah menggunakan click bait. Ada juga media besar yang mendirikan unit usaha  media yang sepenuhnya menggunakan strategi click bait. Strategi tersebut terbukti ampuh, bahkan mampu menyingkirkan detik.com dari segi jumlah pembaca.

Click bait jadi keniscayaan bisnis. Public fugure saling maki di televisi dianggap reality show. Duuh.. pers makin kehilangan arah…

 

Rabu, 01 Maret 2023

Redefinisi Simbol Sukses



Mario Dandy yang gemar naik Harley dan Rubicon ugal-ugalan, Jhon LBF dan sejumlah selebritis yang mengaku sultan atau crazy rich sibuk mengaktualisasikan diri sebagai orang sukses dengan kepemilikan barang mewah sebagai simbol kesuksesan. Tanpa barang mewah mereka merasa nobody. Wajarkah?

Tidak ada yang salah menjadi kaya. Tidak tercela mengaku sukses. Namun memamerkan barang mewah ditengah banyaknya orang yang hidup subsisten sekadar bisa makan, maka flexing jadi menikam nurani.

Saat ini saya melihat ada redefinisi simbol sukses, dari kepemilikan barang mewah kearah kualitas personal, seperti tubuh proporsional, badan bugar, memilih mengonsumsi bahan makanan organik, atau filantropi, yakni menyumbangkan tenaga, pikiran atau uang untuk kepentingan sosial.

Mungkinkah redefinisi ini terjadi? Sangat mungkin. Dulu badan gemuk adalah simbol kemakmuran. Namun di negara maju, badan gemuk kini dinilai sebagai pemalas, kecanduan junk food dan “penyakitan”. Orang makin gemar flexing tubuh proporsional, kulit glowing dan bugar.

Orang-orang “kaya beneran” kini menunjukan kesuksesannya dengan mempresentasikan pengembangan perusahaan, akuisisi perusahaan yang merugi lalu menata ulang menjadi perusahaan sehat dan profit, pengembangan inovasi usaha dan teknologi.

The real Sultan tak lagi tertarik foto di jet pribadi, yacht, ranch, atau sport car. Tapi filantropi di daerah terpencil bahkan sampai berdonasi ke luar negeri.

The real crazy rich tak lagi gemar pamer cincin berlian, tas mewah dan outfit dengan harga mencengangkan. Mereka bangga karena menggunakan produk ramah lingkungan, recycle dan tidak menggunakan kulit binatang, terlebih yang dilindungi.

Orang akan merasa sukses jika berkontribusi positif terhadap lingkungan dan mampu membagi kebahagian kepada orang lain.

Orang-orang sehat pasti mampu meredifinisi simbol sukses lebih useful dan meaningful.