Selasa, 18 Juni 2024

Tidak Ada yang Mustahil Dalam Politik, Kecuali Menghidupkan Orang Mati

 


Judul di atas saya kutip dari statement Eriko Sotarduga, Ketua DPP PDI Perjuangan. Begitu akomodatifnya politik, apalagi cuma sekadar koalisi, transkasi kepentingan untuk satu tujuan tertentu di masa tertentu.

Akhir-akhir ini muncul desas-desus bahwa PDI Perjuangan membuka peluang untuk mendukung Anies Baswedan untuk maju di kompetisi Pilgub DKI Jakarta 2024. Sebelumnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara resmi mendeklarasikan dukungannya terhadap Anies Baswedan. Deklarasi meluncur mulus. Publik melihat sebagai kelanjutan dukungan politik PKB Jilid 2 pasca Pilpres 2024. Nah beda ketika PDIP DKI Jakarta menggulirkan wacana dukungannya. Internal PDI Perjuangan pun terbelah.

PDI Perjuangan dan Anies Baswedan adalah air dan minyak. Basis grass root berbeda, basis ideologisnya juga tak sama. PDI Perjuangan ditopang nasioalisme. Sementara garis perjuanagn Anies berpijak pada sentiment ideology Islam. Kendati Anies dan timsesnya membantah, namun materi kampanye, narasi dukungan dan kelompok die hard-nya tak pernah lepas dari Islam garis keras.

Mengutip pendapat pengamat Adi Paryitno, kesamaan Anies dan PDI Perjuangan adalah “kesamaan nasib”. Sama-sama tidak didukung oleh Jokowi dalam Pilpres 2025. Sama-sama merasa mendapat perlakuan tidak adil dalam Pemilu 2024.

Jika terjadi, pertimbangan PDI Perjuangan mendukung Anies mutlak karena kalkulasi electoral. PKS sebagai partai pendukungan Anies menang dalam Pileg di DKI Jakarta. Dalam pilpres, angka dukungan Anies (01) dan Prabowo (02) di Jakarta juga tidak terpaut jauh. Artinya jika suara pendukung Anies dikawinkan dengan pendukungan 03 dalam Pilkada DKI Jakarta, maka secara matematis, pasti mengguli kandidat yang diusung Jokowi atau Prabowo.

Kalkulasi poitik kerap tidak sesederhana itu. Tidak ada jaminan pendukung PDI Perjuangan dan PKS pun akan mendukung Anies dan Pilgub DKI Jakarta mendatang. Terbukti dalam pilpres terjadi anomaly antara hasil Pileg dengan Pilpres.  

Saya setuju dengan komentar Ganjar Pranowo, bahwa soal dukungan terhadap Anies Baswedan perlu “diobrolkan” lagi, ujarnya.

Untuk partai sebesar PDI Perjuangan rasanya sangat naïf jika koalisi didasarkan pada “kesamaan nasib”.

DI Perjuangan memang terlihat panik atau minimal “makin meningkatan kewaspadaan”. Manuver Jokowi masih belum berhenti. Usai berhasil meloloskan Gibran sebagai wakil presiden. Bukan tidak mungkin akan disusul oleh Kaesang di Pilgub DKI, menyusul Boby Nasution yang telah lebih dulu mencalonkan diri sebagai calon Gubernur Sumatarea Utara.

Pertimbangan elktroal paling pragmatis adalah mendorong Anies yang memiliki elektabilitas tinggi di DKI Jakarta untuk menghadang manuver politik Jokowi yang sulit dibaca dan melahirkan tsunami politik bagi Partai Moncong Putih.

Tian Bahtiar

Jurnalis/ Direktur Pemberitaan JakTV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kenapa Depok Disebut Kota Petir?

  Depok tercatat dalam Guinness Book of World Record sebagai kota dengan petir paling ganas di dunia. Dari hasil penelitian Prof. Dr. Ir. Di...