Kok belajar komunikasi? Kan setiap hari kita bicara?
Komunikasi dan bicara adalah dua hal yang berbeda. Orang yang berbicara belum tentu sedang berkomunikasi. Contohnya balita usia 1 tahun. Dia sudah bisa bicara annaa… auuuu… imiiii…. Dia bicara dengan orang dewasa tapi tidak terjadi komunikasi. Karena keinginannya tidak dipahami, balita itu marah, lalu nangis.
Komunikasi kerap dialamatkan sebagaI keahlian dasar yang wajib dikuasi praktisi humas atau sales. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah.
Sejatinya, communication skill wajib dikuasai setiap orang, apapun profesinya. Bayangkan misalnya seorang guru yang komunikasinya buruk, pelajarannya tidak dipahami, nilai muridnya pasti ‘jeblok’.
Komunikasi juga sering diartikan berbicara sebanyak mungkin. Pendapat ini mutlak salah. Semakin banhyak bicara justru semakin membingungkan dan pesan semakin kabur, apalagi jika lawan bicara juga melakukan hal yang sama yakni “banyak bicara”.
Komunikasi tidak sama dengan berbicara
Bicara adalah kemampuan verbal menyampaikan pesan tertentu. Tapi komunikasi masih butuh syarat lain, yakni “mendengarkan” dan “empati” terhadap lawan bicara. Tidak mungkin kita bisa memahami lawan bicara atau audience jika kita tidak punya kemampuan mendengar. Kita pun tidak mungkin bisa membaca situasi jika kita tidak mampu berempati kepada lawan bicara kita. Bahkan dengan adanya empati kita bisa menyampaikan emosi kita secara tepat kepada lawan bicara.
Komunikasi itu tidak sederhana
“The most important thing in communication is to hear what isn't being said” (Peter F. Drucker).
Tidak membalas sapaan, read pesan tapi tidak reply bukan berarti tidak sedang komunikasi.
Komunikasi dengan menggunakan email atau chat di telepon seluler bisa jadi mempermudah komunikasi atau sebaliknya, memicu kesalahpahaman. Chat “kenapa?” kerap dimaknai jutek, padahal pemberi pesan menulis sambil tersenyum.
Komunikasi bukan hal sederhana. Bahasa tubuh kadang lebih akurat dari kata-kata. Kemampuan menyampaikan ekspresi dan membaca tubuh (gesture) juga merupakan kunci sukses dalam berkomunikasi.
Kesalahan mendidik anak
Akar dari kesulitan komunikasi bisa dirunut jauh ke belakang. Setiap orang tua selalu membantu anaknya agar bisa berbicara. Mulai dari mengucapkan kata sederhana, merangkai kata dan akhirnya bisa menyusun kalimat. Targetnya adalah anak cakap berbicara. Bersamaan dengan itu, orang tua pun mengajarkan membaca, menulis dan berhitung (calistung).
Jarang sekali orang tua mengajarkan anaknya untuk cakap berkomunikasi. Akibatnya, banyak orang dewasa yang kemampuan komunikasinya setara dengan anak usia 10 tahun, hanya cakap berbicara, namun tidak mampu mendengarkan dan memahami lawan bicaranya. Persis seperti anak kecil. Hanya ingin dipahami tapi tidak bisa memahami orang lain. Egosentris!
Syarat komunikasi efektif
Orang tua umumnya mengajarkan anak untuk bicara, tapi tidak mengajarkan anak untuk komunikasi secara benar. Belajar berbicara, belajar mendengarkan, belajar berempati dan mengasihi orang lain. Akibatnya, setelah dewasa, kemampuan bicaranya seperti anak usia 12 tahun, tidak mampu berempat dan mengasihi orang lain. Dua aspek itu penting agar kita bisa merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain, dan memberitahuakan apa yang kita rasakan kepada lawan bicara. Akhirnya orang tersebut tidak bisa membaca situasi, ujungnya, terjebak dalam konflik,
Nah, setelah baca uraian di atas jadi lebih jelas kan? Yuk buat suasana lebih nyaman dan produktif dengan komunikasi yang lebih sehat dan bikin kalian lebih merdeka dan bahagia sebagai manusia…
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar