Jumat, 07 Juli 2023

Belajar Dari Perancis yang Tidak Lagi Romantik



Sebetulnya Paris sudah lama tidak lagi menjadi romantic city. Banyak turis yang jadi sasaran kejahatan. Sebagai orang Asia kita menduga bahwa melancong ke benua biru pastilah aman. Kenyataannya sebaliknya. Pelakunya umumnya warga lokal. Selain Perancis, Italy dan Spanyol juga tercatat sebagai negara dengan kriminalitas tinggi.

Merujuk pada kerusuhan di Perancis, maka kondisi sosial Perancis sangat rapuh. Sentimen rasial mudah meledak. Kasus kekerasan apapun bisa menjadi trigger amuk massa sebagai pelampiasan stress sosial akibat meningkatnya inflasi dan angka pengangguran di kota mode dunia itu.

Bagaimana dengan Indonesia? Tidak ada jaminan kasus kerusuhan di Paris tidak terjadi di Indonesia. Kita pernah punya pengalaman pahit ketika isu agama dijadikan materi kampanye pilpres, pilkada, bahkan pemilihan ketua osis. Sara adalah racun dahsyat yang mampu menyulut segregasi sosial. In group feeling dalam sekejap berubah menjadi chauvinisme yang membius sekelompok orang dan meyakini ideologinya lebih benar dibandingkan orang lain. Calon kami lebih berhak memimpin dibandingkan calon kalian, dan seterusnya. Cebong, kampret adalah stigma yang membuat “kami” beda dengan “kalian”.

Kita tidak boleh terbuai dengan slogan “NKRI harga mati” atau “Aku Indonesia.” Sikap waspada patut terus dikembangkan. Pemerintah harus berani mengatur bahkan melakukan penegakan hukum terhadap setiap upaya membangun chauvinisme gaya baru. Dilain pihak, masyarakat pun mesti memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya mempertahankan pluralisme. “Bhineka Tunggal Ika” nilai yang tetap relevan kita pertahankan. Jangan biarkan bumi pertiwi dijadikan killing fields demi ego kelompok.

Indonesia pernah diguncang konflik sara. Di era kolonial, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa kelompok pribumi. Pada tahun 1999 terjadi konflik agama di Ambon antara Islam dan Kristen. Ketegangan antar dua kelompok agama ini berlangsung lama dan meluas.

Di Sampit pada tahun 2001 terjadi konflik antara Suku Dayak dengan Madura. Human right index kita merosot tajam hampir menyamai negara Afrika yang tengah dilanda konflik antar suku. Potongan tubuh suku Madura di pamerkan di jalan-jalan dan sejumlah media nasinal dan internasional memuat tragedi kemanusiaan ini secara luas.

Di penghujung kekuasaan Orde Baru terjadi kerusuhan yang berakhir dengan tumbangnya rezim Orde Baru. Namun di era itu juga terjadi konflik etnis antara pribumi dengan kelompok Tionghoa. Penjarahan, pembunuhan dan perkosaan terjadi. Tidak ada laporan pasti berapa jumlah korban.

Kasus tersebut buka hanya menorehkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia, tapi mencoreng martabat Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kemana perginya bangsa yang santun, ramah dan berbudaya ini?

Pada tahuh 2000 terjadi konflik golongan agama. Kelompok penganut Ahmadiyah dan Syiah dibantai. Masjid dan rumah mereka dibakar. Konflik ini sangat aneh karena kelompok Ahmadiyah dan Syiah telah lama ada di Indonesia dan sejauh ini tidak terjadi gesekan. Hidup damai di tengah perbedaan.

Kasus tadi adalah contoh bahwa simpul persatuan bangsa Indonesia tidak terlalu kokoh. Ada saja pihak yang berusaha mencerai-beraikannya.

Berpulang pada kita sebagai anak bangsa. Tuhan memang menganugerahkan perbedaan bagi bangsa Indonesia. Tugas kita adalah merawatnya.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar