Pilihan kata atau diksi tidak bisa berdiri sendiri, tapi punya makna kontekstual. Lebih jauh, diksi juga punya makna historis, sosiologis dan kulturaL. Intinya, diksi tidak pernah berdiri sendiri apalagi ahistoris.
Belakangan
ini ramai polemik kata “hajar” dalam persidangan kasus pembunuhan Brigadir J
atau populer disebut “Kasus Sambo”. Terdakwa Ferdy Sambo beralibi tidak pernah
memerintahkan “membunuh” kepada ajudannya Richard Eliezer Pudihang alias
Bharada E, tapi perintahnya adalah “hajar”. 
Hajar
menurut Sambo dan pengacara serta saksi ahli yang dihadirkan kubu Sambo bukan berarti
membunuh, tapi pukul. Rujukannya adalah KBBI.
Memahami
sebuah kata tentu tidak terlalu sulit. Tapi itulah hukum, sekecil apapun peluang,
pasti akan dimanfaatkan untuk lepas dari tanggung jawab hukum atau sebaliknya,
menjerat orang lain. 
Akal
sehat seketika serasa dipasung. Apakah mungkin kata hajar bisa punya makna
selain bunuh ketika didahului dengan pemberian sepucuk pistol glock-17 lengkap
dengan pelurunya?
Yuk
kita gunakanan ilustrasi berikut ini. Kita sedang makan siang dengan kawan
kantor. Lalu salah seorang berteriak “hajar” sambil mata tertuju pada makanan
di tengah meja. Hajar dalam konteks itu pastilah bermakna habiskan makanan,
bukan pukul atau tembak.
Ketika
Ustad Das’ad Latif bertanya kepada jamaah pengajiannya, “Gaspol atau rem-rem
ini?” ini tentunya bukan soal pedal gas atau rem  mobil, tapi soal materi ceramahnya, bebas
bicara atau disensor. 
Diksi
itu tidak bisa dicerabut dari konteks peristiwa. Pengecualian hanya diberikan
kepada Cak Lontong yang pandai memutar balikan makna dari sebuah “diksi” dan
kita hanya bisa “nyengir” ketika diakhir statement dia bilang “mikiiiiiir”.
Apakah
Ferdy Sambo mampu menyaingi kelucuan Cak Lontong? Pengadilan memang sejak lama
sudah jadi panggung lenong….  
Tidak ada komentar:
Posting Komentar