Jadi Jurnalis itu keren
Sejak SMP saya sudah memimpikan menjadi wartawan. Berita di era TVRI umumnya menyajikan berita pejabat dikelilingi wartawan. “Wuiih keren… ada Tian Bahtiar berada di antara pejabat dan bisa menjadi orang yang lebih dulu tahu tentang nasib negeri ini..,” kira-kira begitu yang ada di benak saya ketika masih remaja.
Perjalanan hidup tidak langsung masuk dunia jurnalistik, sebelumnya, selama 5 tahun lebih saya berkecimpung di dunia riset sosial dan melakukan advokasi masyarakat marjilnal perkotaan, sektor informal dan buruh.Di era inilah NGO tumbuh subur sejalan dengan makin ketatnya kehidupan politik di era Orba. Pergulatan dengan masalah ketidakadilan sosial inilah yang kemudian mewarnai kehidupan selanjutnya sebagai jurnalis. Mulai dari pilihan tema hingga angle liputan.
Menjadi wartawan di era tahun 90’an sangatlah berbeda dengan sekarang. Kaidah jurnalistik begitu ditaati. Asosiasi profesi terasa sangat berwibawa, walaupun akhirnya ikut mendirikan Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) karena merasa tidak sejalan dengan PWI. Belakangan jumlah asosiasi wartawan terus menjamur sejalan dengan longgarnya syarat mendirikan perusahaan media. Konon ada 70 ribu media di Indonesia. 70 % adalah situs online. Saya kok jadi sedih ya dengan kualitas dan motif para pendirinya. Publik bukan jadi cerdas. Malah sebaliknya, setiap hari dijejali hoax dan fake news.
PR Consultant, irisan lain komunikasi
Salah satu partner pihak ke-3 selama bertugas sebagai jurnalis adalah para praktisi public relation atau humas. Umumnya mereka murni berlatar belakang pendidikan kehumasan atau disiplin ilmu dan profesi yang tidak terkait dengan jurnalistik. Goal mereka hanya satu yaitu membangun reputasi positif untuk clientnya.
Baik-buruknya reputasi seseorang seringkali bergantung pada tulisan wartawan (bukan kinerja sesungguhnya). Ujung-ujungnya, praktisi PR malah seringkali meminta advice komunikasi agar citra client di mata publik menjadi positif.
Saya melihat public relation adalah dunia baru yang menantang untuk dijelajahi. Irisan dengan jurnalistik lumayan lebar dan kuat. Kenapa tidak dicoba?
Ketertarikan diawal ini akhirnya seperti pusaran air, menarik ke arah lebih dalam. Mulai dari menjadi partner beberapa perusahaan PR consultant hingga akhirnya mendirikan sendiri PR Agency.
Dunia komunikasi adalah samudera. Begitu luas dan dalam. Berawal dari penanganan krisis komunikasi (crisis handling) berkembang kearah pemasaran dan promosi sejumlah produk komoditas. Beruntung saya dipertemukan dengan sejumlah professional sehingga permintaan client mulai dari crisis handling, litigation public relation hingga marketing bisa ditangani.
Menjadi jurnalis dan PR consultant adalah hobi yang dibayar. Menyenangkan bisa membantu banyak orang mencapai apa yang diinginkannya, walau ketika terjadi public pressure, bikin insomnia dan psikosomatik juga he he he….. Belakangan Tian Bahtiar juga dikenal sebagai Lord of The Rings (karena banyaknya ring yang masuk di arteri jantung) he he he…
Disanalah letak seninya. Tidak semuanya berujung happy ending. Namun semuanya berakhir setelah melalui proses yang “berdarah-darah”, dan client pun memaklumi ini sebagai force major atau “semesta berkehendak lain”.
Seperti tengah berada ditepi telaga, lalu menatap bayangan sendiiri. Saya melihat ini sebagai sebuah perjalanan panjang. Bukan tentang apa yang dikejar, tapi meneruskan apa yang sudah dimulai.
Mimpi selanjutnya adalah membuat kelas komunikasi, berbagi ilmu dengan siapapun yang merasa punya masalah dengan komunikasi atau ingin meningkatkan kemampuan komunikasinya atau (nah,, ini yang seru) mendiskusikan berbagai peristiwa yang lagi viral yang bisa kita bedah dari aspek komunikasi publik… contohnya debat panas persidangan Kasus Sambo soal kata “hajar” dan banyak hal menarik lainnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar