Wakil ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Jasra Putra menilai tragedi penganiayaan yang dilakukan P terhadap isterinya D dan diteruskan dengan pembunuhan ke-4 anaknya adalah alarm lemahnya penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Ada rentang waktu yang bisa digunakan oleh polisi untuk mengamankan anak-anak, tapi tidak dilakukan oleh polisi, hingga akhirnya 4 anak-anak itu tewas dibunuh ayahnya.
Kecaman
juga diutarakan oleh Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso. Dalam
kasus pembunuhan di Jagakarsa ini polisi telah bertindak tidak professional dan
melanggar etika.
“Begitu
menerima laporan, pelaku harusnya ditahan. Ini kan tidak. Petugas harus
disanksi. Propam harus turun dan periksa Apakah saat menerima laporan polisi
mengeluarkan surat permintaan pemeriksaan visum et repertum ke rumah sakit?
Apakah ada pemeriksaan terhadap si suami yang jadi pelaku? Jangan protektif
jangan defensif. Propam harus turun untuk memeriksa prosedur penangan
perkaranya,” ujar Teguh dalam talkshow JAKFORUM (14/12).
Sementara
Komisioner Komnas Perempuan Maria, Maria Ulfah Anshor menegaskan bahwa umumnya
perempuan ketika memutuskan melaporkan KDRT ke polisi, hampir bisa dipastikan
bahwa insiden itu bukan yang pertama. Korban melapor karena sudah tidak kuat
menahan sakit. Itu biasanya telah terjadi untuk kesekian kalinya. 
“Saya
mengingatkan Polri agar jangan membebankan pembuktian kepada pelapor.
Keterangan korban dan bukti kekerasan pada tubuh sudah merupakan bukti,
petugaslah yang harus melengkapi,” jelas Maria Ulfah.
Dari
laporan korban ke Komnas Perempuan, banyak keluhan soal beban pembuktian yang
harus dilengkapi korban. Hal ini menunjukan sikap polisi tidak memahami soal
KDRT, apalagi dalam kasus pelecehan seksual. Sulit untuk menghadirkan saksi,
ujar Maria Ulfah.
Dalam
kasus Jagakarsa, dalam acara talkshow JAKFORUM (14/12) Maria Ulfah menilai
bahwa ada persoalan cara pandang yang keliru dalam memahami dan menangani KDRT.
Pertama, KDRT seringkali dilihat sebagai masalah internal rumah tangga sehingga
penyelesaiannya dikembalikan ke suami-isteri atau pihak yang bertikai. “sudah
babak belur kok disuruh damai. Ada lagi korban perkosaan, malah suruh menikah
dengan pelakunya. Ini kan fatal,” jelas Maria.
Kedua,
KDRT hanya dilihat sebagai konflik suami-isteri. Anak yang dipastikan jadi
korban, justru diabaikan. Contohnya adalah kasus Jagakarsa.