Publik kembali dibuat geger dengan mencuatnya berita bacaleg Partai Demokrat Dapil Jabar yang memutuskan mundur gara-gara diminta menyetor mahar politik ke DPP Partai Demokrat. Angka yang fantastis diduga menjadi penyebab seorang bacaleg bernama Didin Supriadin memutuskan untuk mundur dari pencalonan sekaligus keluar dari keanggotaan Partai Demokrat. Mahar politik memang isu usang. Tapi nurani kita tetap terasa ditikam setiap kali isu mahar politik kembali dibuka ke publik.
Berapa
besar mahar yang diminta? Menurut pemberitaan media massa ketika pendaftaran
bacaleg Didin dan bacaleg lainnya sudah diwajibkan menyetor sebesar Rp 32.5
juta. Setelah itu diwajibkan menyetor mahar Rp 100 juta untuk dana saksi partai.
Nah karena dia berada di urutan No 1, maka dia juga diwajibkan untuk menambah
mahar lagi sebesar Rp 500 juta. Itu baru diawal. Bagaimana dengan kebutuhan logistik
seperti spanduk, baliho, kaos, panggung, konsumsi, uang operasional dan fee tim
sukses, saksi lapangan, dan biaya lainnya? Dipastikan, untuk tingkat DPRD
Tingkat 1 minimal menghabiskan biaya Rp 5 milyar lebih. Fantastis!
Mahalnya
biaya politik sebetulnya terjadi diseluruh parpol dan seluruh pencalonan, legislatif,
eksekutif, bahkan di DPD sekalipun. Berapa biaya yang dikeluarkan untuk
kontestasi calon Gubernur? Untuk wilayah Propinsi Bangka Belitung saya mendapat
informasi dari seorang timses mencapai Rp 100 Milyar. 
Mahalnya
biaya politik ini adalah cikal bakal tindakan koruptif dari seorang pejabat.
Agenda utama seorang politisi ketika terpililih adalah mengembalikan biaya politik
selama masa jabatannya. Atau, memberikan proyek atau berbagai previlege kepada
“cukong” yang sudah mendanai kegiatan politiknya. 
Kepentingan
“cukong” dipastikan akan menyandera pejabat. Kontrol proyek akan dikendalikan
oleh cukong sehingga proses tender hanya basa-basi saja. Sedangkan nama
pemenangnya sudah dikantong.
Melihat
proses politik seperti itu kita seperti sedang menonton sinetron Indonesia. Ujungnya
sudah bisa ditebak, yakni mengeruk uang negara sebanyak mungkin. 
Muncul
ungkapan sinis setiap ada pejabat publik yang diciduk KPK, Polri atau
Kejaksaan. “Ah, itu lagi sial aja”. Ada semacam keyakinan di benak masyarakat
bahwa hampir seluruh pejabat publik itu korupsi. 
Dengan
tingginya biaya politik maka sulit mencari politisi yang murni terjun ke kancah
poitik hanya demi mengabdi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Banyak
dari politisi yang rekam jejaknya tidak patut untuk duduk di kursi empuk
pejabat. Namun karena kemampuannya untuk membeli suara, maka libodo kekuasaan
pun terlampiaskan.
Proses
Pemilu bak permainan monopoli kekuasaan di antara para elit partai. Rakyat
hanya jadi penonton saja. Dunia politik kita tengah sakit kronis. Celakanya
kondisi ini tidak disadari, diabaikan, bahkan disanjung tengah berada di iklim
demokrasi yang sehat…