Selasa, 09 Mei 2023

Korupsi Dan Mahar Politik



Publik kembali dibuat geger dengan mencuatnya berita bacaleg Partai Demokrat Dapil Jabar yang memutuskan mundur gara-gara diminta menyetor mahar politik ke DPP Partai Demokrat. Angka yang fantastis diduga menjadi penyebab seorang bacaleg bernama Didin Supriadin memutuskan untuk mundur dari pencalonan sekaligus keluar dari keanggotaan Partai Demokrat. Mahar politik memang isu usang. Tapi nurani kita tetap terasa ditikam setiap kali isu mahar politik kembali dibuka ke publik.

Berapa besar mahar yang diminta? Menurut pemberitaan media massa ketika pendaftaran bacaleg Didin dan bacaleg lainnya sudah diwajibkan menyetor sebesar Rp 32.5 juta. Setelah itu diwajibkan menyetor mahar Rp 100 juta untuk dana saksi partai. Nah karena dia berada di urutan No 1, maka dia juga diwajibkan untuk menambah mahar lagi sebesar Rp 500 juta. Itu baru diawal. Bagaimana dengan kebutuhan logistik seperti spanduk, baliho, kaos, panggung, konsumsi, uang operasional dan fee tim sukses, saksi lapangan, dan biaya lainnya? Dipastikan, untuk tingkat DPRD Tingkat 1 minimal menghabiskan biaya Rp 5 milyar lebih. Fantastis!

Mahalnya biaya politik sebetulnya terjadi diseluruh parpol dan seluruh pencalonan, legislatif, eksekutif, bahkan di DPD sekalipun. Berapa biaya yang dikeluarkan untuk kontestasi calon Gubernur? Untuk wilayah Propinsi Bangka Belitung saya mendapat informasi dari seorang timses mencapai Rp 100 Milyar.

Mahalnya biaya politik ini adalah cikal bakal tindakan koruptif dari seorang pejabat. Agenda utama seorang politisi ketika terpililih adalah mengembalikan biaya politik selama masa jabatannya. Atau, memberikan proyek atau berbagai previlege kepada “cukong” yang sudah mendanai kegiatan politiknya.

Kepentingan “cukong” dipastikan akan menyandera pejabat. Kontrol proyek akan dikendalikan oleh cukong sehingga proses tender hanya basa-basi saja. Sedangkan nama pemenangnya sudah dikantong.

Melihat proses politik seperti itu kita seperti sedang menonton sinetron Indonesia. Ujungnya sudah bisa ditebak, yakni mengeruk uang negara sebanyak mungkin.

Muncul ungkapan sinis setiap ada pejabat publik yang diciduk KPK, Polri atau Kejaksaan. “Ah, itu lagi sial aja”. Ada semacam keyakinan di benak masyarakat bahwa hampir seluruh pejabat publik itu korupsi.

Dengan tingginya biaya politik maka sulit mencari politisi yang murni terjun ke kancah poitik hanya demi mengabdi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Banyak dari politisi yang rekam jejaknya tidak patut untuk duduk di kursi empuk pejabat. Namun karena kemampuannya untuk membeli suara, maka libodo kekuasaan pun terlampiaskan.

Proses Pemilu bak permainan monopoli kekuasaan di antara para elit partai. Rakyat hanya jadi penonton saja. Dunia politik kita tengah sakit kronis. Celakanya kondisi ini tidak disadari, diabaikan, bahkan disanjung tengah berada di iklim demokrasi yang sehat…

Senin, 08 Mei 2023

Kejahatan Menggila, Tak Ada Lagi Kontrol keluarga



Keluarga AKBP Achiruddin Hasibuan bukan keluarga sembarangan. Achiruddin adalah seorang perwira menengah POLRI, kakak kandungnya Ongku Hasibuan adalah anggota Komisi 3 DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat. Yang membuat miris, isteri Achirudin, Yeti Kurniati, kakak Aditya Hasibuan, Arya Hasibuan, Kakak kandung Achiruddin Ongku Hasibuan (anggota Komisi  DPR RI), dan Sri Puji Hasibuan kompak membela Achiruddin dan anaknya Aditya dengan mengatakan bahwa yang terjadi adalah duel, perkelahian satu lawan satu. Bukan penganiayaan. Allah tengah membuka aib keluarga tersebut. Taka da satu pun yang mengingatkan ke jalan yang benar.

Terlepas dari proses hukum yang tengah berlangsung, yang menjadi catatan saya adalah keluarga Achiruddin ini menilai “wajar” penyelesaian konflik dengan cara duel. Peran Achiruddin sebagai polisi tidak berfungsi sama sekali, bahkan ia melarang upaya orang yang bermaksud melerai. Hal sama juga diungkapkan Ongku Hasibuan, anggota Komisi 3 DPR RI. Tidak ada satupun anggota keluarga yang menjadi kontrol bagi anggota keluarganya.

Ketika Achiruddin memiliki kekayaan tidak wajar, bahkan tanpa merasa malu mereka turut menikmati dan memamerkannya. Lagi-lagi fungsi kontrol keluarga pun sudah tidak berjalan.

Achiruddin adalah salah satu contoh terkini saja, sebelumnya banyak kasus pejabat, isteri dan anaknya pamer kekayaan. Mereka menikmati harta haram tersebut secara berjamaah. Ironisnya, ketika korupsi terbongkar, mereka pun sibuk ikut menyangkal bahkan memberikan label “dizholimi”.

Jika pola nilainya seperti itu, maka pemidanaan tidak melahirkan efek jera. Suami terkena operasi tangkap tangan, tak berselang lama isteri atau anaknya menyusul ke penjara.

Seorang sosialita memamerkan tas Hermes di Jakarta, apalagi di kawasan elit seperti SCBD, bukan hal luar biasa. Para sosialita berinteraksi dengan orang yang secara status sosial nyaris setara. Tapi jika seoarang Kepala Dinas Kesehatan di Lampung, atau Sekda Riau yang daerahnya secara ekonomi didominasi masyarakat menengah bawah memamerkan tas Hermes dan mobil Alphard terasa mencolok mata dan melukai rasa keadilan. Rasa malu sebagai benteng terakhir keimanan telah runtuh. Mereka lupa, atau tidak peduli, bahwa perilaku seperti itu bak membuka aib sendiri di muka umum.

Uang haram itu sejatinya hanya mengotori darah seluruh keturunan sehingga tidak patut dibawa ke rumah. Harta haram tidak membawa berkah. Namun yang terjadi kini sebaliknya, harta haram justru ditunggu seisi rumah. Polisi pangkat rendah kaya disanjung bak raja. ASN eselon menengah dipuja keluarga karena berhasil mengangkat derajat keluarga kekayaan dari hasil hasil menjarah kas negara.

Keluarga sebagai kontrol terakhir akhlak manusia sudah mulai runtuh. Pesan isteri ke suaminya pun kini berbunyi seperti ini “korupsilah sebanyak mungkin pak, tapi jangan sampai tertangkap.”

Astagfirullahhaladzim…

Senin, 01 Mei 2023

Perlawan Terbuka Publik Terhadap POLRI


Kasus AKBP Achiruddin Hasibuan (AH), perwira menengah Polda Sumatera Utara menjadi momentum bagi netizen untuk kembali mengibarkan hastag #noviralnojustice. Tanpa campur tangan publik di media sosial, diduga kasus ini masih tersimpan rapi dalam map penyidik.

Kasus yang bermula dari penganiayaan yang dilakukan Aditya Hasibuan, putra AH terhadap Ken Admiral membuka satu persatu kebobrokan AH dan keluarganya yang bisa jadi akan berimbas kepada institusi POLRI.

Pertama, terkuak harta pamen Poldasu ini tidak wajar. Dari LHKPN yang dilaporkan pada tahun 2021 AH mengaku memiliki harta kekayaan sebesar Rp 467 juta, namun nafsu pamer hartanya di sosmed mendorong KPK memeriksa kembali LHKPN dan kepemilikan sejumlah barang mewah seperti Jeep Rubicon dan Harley Davidson yang kerap dia pamerkan. Hasil penyidikan sementara, moge tersebut “bodong”, alias tidak dilengkapi dokumen resmi. Sangat tidak patut, seorang perwira menengah Polri memiliki kendaraan mewah yang tidak dilengkapi dokumen resmi. Selain illegal, dipastikan pula tidak membayar pajak. Duh…

Kedua, AH terkait dengan bisnis solar ilegal. Pengakuan sementara dia menjadi pengawas dan mengaku mendapat imbalan sejak 2018. Pengakuan ini menjadi bukti adanya gratifikasi dan indikasi tindak pidana pencucian uang. 

Ketiga, keterlibatan AH dalam kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya terhadap Ken Admiral. Selain ancaman pemidanaan, AH juga menghadapi sidang kode etik. Melihat perilaku AH, perannya dalam kasus penganiayaan dan upaya dia merekayasa dengan membuat video perdamaian, maka sudah sepatutnya AH mendapat sanksi maksimal berupa Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH). Sikapnya selama proses penyidikan menjadi indikasi bahwa orang seperti ini tidak patut dipertahankan di Korps Bhayangkara. Polisi hadir di masyarakat untuk memberikan solusi bukan sebaliknya.

Keempat, perilaku ugal-ugalan AH adalah cermin dari lemahnya pengawasan POLRI. Sangat aneh jika Poldasu tidak mengetahui penyelewengan AH. Rumahnya sangat mentereng. Tidak sesuai dengan penghasian seorang pamen dan terletak di tengah kota. Gudang solar ilegalnya juga dipinggir jalan, dan sudah berulang kali dilaporkan warga. Tidak mungkin petugas Pertamina tidak mengetahui adanya praktik kotor ini apalagi yang dilakukan AH dalam volume besar. Dan yang tidak kalah memprihatinkan, AH memamerkan hasil bisnis kotornya di ruang publik yang mestinya tidak akan luput dari pantauan atasannya.

Problem keempat inilah yang makin membenamkan kepercayaan publik kepada institusi POLRI.